JawaPos.com – Wirausaha dinilai memegang peranan penting dalam menyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Global Enterpreneurship Index menunjukkan bahwa negara maju memiliki jumlah wirausaha rata-rata 14 persen dari jumlah penduduknya. Sayangnya, jumlah wirausahawan Indonesia terendah di Asia Tenggara.
Jumlah wirausahawan Indonesia hanya 3,1 persen. Lebih rendah dari Singapura (8,76 persen), Malaysia (5 persen), dan Thailand (4,26 persen). “Itu artinya Indonesia masih memiliki PR (pekerjaan rumah) besar dalam menumbuh dan mengembangkan wirausahawan agar mampu bersaing dengan negara ASEAN dan bahkan negara maju,” ucap anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati dalam forum grup diskusi di bilangan Cawang, Selasa (7/3).
Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan rendahnya angka wirausaha. Yakni, pola pikir masyarakat untuk lebih mencari pekerjaan, rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) pelaku wirausaha, dan kendala mengakses modal. Ditambah, regulasi yang belum mampu mengatasi persoalan yang menghambat perkembangan dunia wirausaha.
Merujuk data International Labour Organization 2020, Indonesia masuk dalam 20 dari 58 negara dengan jumlah wirausaha perempuan terbanyak. Bahkan, survei Bank Indonesia (BI) 2022 menunjukkan partisipasi perempuan mencapai 60 persen dari 65 juta usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di Indonesia. Hanya saja, mereka lebih memilih usahanya tetap berskala kecil dan informal.
Alasannya, perempuan ragu mempekerjakan pegawai selain anggota keluarga dan memperluas usaha ke pasar baru. Wirausaha perempuan juga memilih menolak pesanan dalam jumlah besar. Daripada mempekerjakan pegawai tambahan untuk membantu pemenuhan pesanan.
Selain itu, ada kuga hambatan karena tidak mengetahui proses melegalkan bisnis mereka. “Keterbatasan informasi dan tidak memenuhi syarat menjadi faktor utama. Padahal, mengembangkan bisnis dan mendaftarkan usaha menjadi formal akan membuka akses ke pinjaman modal maupun insentif pemerintah,” terang Anis.
Meski demikian, laporan United Nations Development Programme (UNDP) menemukan bahwa usaha yang dikelola perempuan lebih mampu bertahan saat pandemi Covid-19 ketimbang laki-laki. Sebanyak 47 persen dilakukan secara online. Bahkan, meski omzet menurun, wirausaha perempuan tidak sampai harus menutup bisnisnya. Beberapa bahkan memulai usaha sampingan untuk menutupi kekurangan dari usaha utama.
Makanya, dia memandang perlu adanya dukungan kebijakan dari pemerintah maupun stakeholder terkait. Antara lain, perlu adanya basis tunggal UMKM dan data berbasis jenis kelamin. Untuk memudahkan pemerintah maupun swasta dalam menargetkan bantuan kepada wirausaha perempuan.
Menurut Anis, peran aktif pemerintah pusat dan daerah dalam mengidentifikasi dan memetakan potensi UMKM perempuan sangat perlu. Seperti bantuan teknis pendaftaran nomor induk usaha, mendapatkan sertifikat standar/izin produk, pelatihan dan penyediaan infrastruktur pendukung.
Dari lembaga keuangan, perlu adanya produk dengan syarat yang fleksibel dan pencairan yang cepat. Juga, penting memasifkan pelatihan literasi digital dan keuangan. “Sehingga dapat membuka akses pasar yang lebih luas, kemudahan bertransaksi, dan memperoleh bahan baku,” ujar Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI itu.
Dalam kesempatan itu, Kepala Kantor Perwakilan BI DKI Jakarta Arlyana Abubakar mengatakan, saat ini terdapat 64,2 juta UMKM berkontribusi terhadap PDB mencapai 61,07 persen. Dia melihat 77,7 persen masalah UMKM adalah memiliki kendala dalam pemasaran. Terutama yang bersifat pemasaran online.
“Kami ingin supaya digitalisasi lebih optimal. Tak hanya sekadar alat komunikasi, tapi juga untuk melakukan bisnis. Juga kita dorong kemudian menggunakan digitalisasi pembayaran,” katanya.
Salah satu dengan penggunaan quick respon code Indonesian standard (QRIS). Tak perlu repot memikirkan kembalian, uang langsung masuk ke rekening. Sehingga selain untuk transaksi, QRIS juga bisa membangun profil kredit. Per 17 Februari tercatat 4,5 juta merchant di Jakarta sudah menggunakan QRIS.