JawaPos.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, laporan adanya dugaan korupsi dapat dilakukan siapa saja. Namun, bahan yang diserahkan seorang pejabat tinggi diyakini lebih berbobot sehingga memudahkan aparat penegak hukum dalam pengusutannya.
Demikian disampaikan peneliti ICW, Lalola Easter Kaban, merespons laporan dugaan korupsi di perusahaan negara oleh Menteri BUMN, Erick Thohir, kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin (6/3).
“Soal laporan, bisa dilakukan siapa saja dalam konteks pelaporan enggak ada masalah, mau yang lapor menteri (atau) warga sipil itu dimungkinkan. Yang membedakan itu bukti awal. Asumsinya kalau laporan menteri, dokumen (yang diserahkan) lebih solid karena data internal bahkan punya kekuasaan juga untuk minta data internal,” tuturnya.
Kejagung dan Kementerian BUMN belum mau terbuka atas kasus baru yang dilaporkan tersebut. Sebab, akan didalami terlebih dahulu dalam 1-2 pekan.
Di sisi lain, pelaporan ini tidak lepas dari kolaborasi keduanya dalam beberapa tahun terakhir. Berkat adanya kerja sama, beberapa kasus korupsi di BUMN diusut, seperti Garuda Indonesia, ASABRI, dan Jiwasraya.
Lola enggan berkomentar tentang efektivitas kerja sama Kejagung-BUMN dalam penindakan kasus korupsi lantaran ICW tidak memiliki datanya. “Itu harus ditanya ke Kejaksaan Agung, berapa banyak persentasenya, baru bisa menilai efektif atau tidak.”
Lebih jauh, Lola mengungkapkan, ada perbedaan praktik korupsi dalam BUMN dengan cabang pemerintahan lainnya. Pertama, perusahaan negara memonopoli beberapa sektor strategis, seperti listrik dan air, dan pengoperasiannya bekerja sama dengan swasta.
Karakteristik seperti itu, lanjut Lola, tentu ada power besar di BUMN. Makanya, yang sering menjadi problem itu kalau tidak dibarengin pengawasan yang sama powerful.
“ASABRI, Jiwasraya beberapa contoh (kasus korupsi BUMN) terkini. Kalau misal zaman dulu, Orba, ya lihat saja bagaimana Pertamina dikelola. Rawan sekali akhirnya BUMN dijadikan kendaraan untuk mencari keuntungan untuk segelintir orang. Mudah-mudahan tata kelola sudah sekarang lebih baik dari masa itu,” sambungnya.
Lola juga menyoroti soal adanya rangkap jabatan oleh eselon I kementerian/lembaga negara menjadi komisiris/dewan pengawas di beberapa BUMN (ex-officio). Sebab, berpotensi memicu konflik kepentingan (conflict of interest).
“ICW baru-baru ini melakukan satu contoh, misal, komisaris BUMN rangkap jabatan di sektor pengakan hukum, ada momen-momen dia itu lebih banyak absen dalam rapat dewan komisaris, rapat gabungan. Alasannya karena kedinasan. Yang kayak gitu gimana mau melakukan pengawasan maksimal?” tanya dia.
Apalagi, kebijakan yang dikeluarkan komisaris atau dewan pengawas tersebut umumnya hanya bersifat rekomendasi dan tidak mengikat. Dengan demikian, tidak menjadi pertimbangan utama bagi direksi BUMN dalam mengeluarkan keputusan.
Selain itu, belum maksimalnya fungsi pengawasan imbas adanya pemberian jabatan kepada para pendukung untuk mengisi posi komisaris/dewan pengawas.
“Jadi, bagaimana BUMN mau sehat kalau itu dijadikan tempat bagi-bagi kue,” tandas Lola.