JawaPos.com–Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, gerakan anti tembakau di Indonesia tak lepas dari intervensi global. Termasuk agenda merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang menuai polemik.
Menurut Hananto, apabila membicarakan tembakau sebenarnya tidak membicarakan lokal. Namun, ada peran/intervensi dari lembaga donor luar negeri untuk mengganggu kedaulatan tembakau Nusantara.
”Indonesia adalah negara ketiga yang ditarget soal pelarangan tembakau. Tiap tahun, dana lembaga donor dari luar untuk kampanye anti tembakau sangat besar. Lawan kita itu nggak sembarangan karena intervensi global yang luar biasa untuk mematikan kelangsungan ekosistem tembakau,” kata Hananto.
Dia menanti pandangan/suara dari Kemenko PMK. Sebelumnya, pada 27 Juli 2022, Kemeko PMK pernah melakukan uji publik tentang revisi PP 109/2012. Yang menjadi pertanyaan, apakah uji publik kala itu dilakukan dengan terbuka, adil, fair, apa hanya karena adanya intervensi asing?
”Sebagai gambaran, saat itu ada sekitar 80 undangan, 10 persen adalah kelompok yang pro tembakau. Kalaupun hanya ada 8 orang, itu adalah upaya yang kita coba paksakan untuk masuk ke ruangan itu,” tutur Hananto Wibisono.
Kemudian, lanjut Hananto, ada silang sengkarut data prevalensi perokok. Basis data yang digunakan Kemenko PMK maupun Kemenkes adalah data Riskesdas 5 tahunan.
Hananto menilai, eksosistem tembakau berbasis data Badan Pusat Statistik (BPS), angka prevalensi perokok sudah turun. Dengan demikian, tidak relevan lagi menggunakan alasan prevalensi perokok untuk mendorong revisi PP 109/2012.
”Data BPS sudah turun menjadi 3,4 persen untuk prevalensi anak, saya tanya apakah tahun depan ada dana kampanye untuk meningkatkan prevalensi anak?” kata Hananto.
Hananto ingin menanyakan Kemenko PMK, apakah bisa jujur apa tidak dalam situasi seperti ini? Sebelum revisi PP 109/2012, mestinya introspeksi diri sebelum bicara ke stakeholders bahwa perlu revisi dengan sejumlah argumentasi yang rasional dan seterusnya.
”Hari ini tidak ada yang dapat kami anggap sebagai alasan yang rasional kenapa perlu revisi. Misalnya, mereka mendorong adanya perbesaran gambar menjadi 90 persen bolak-balik di bungkus rokok. Kenapa langsung 90 persen, tidak ada studinya,” ujar Hananto Wibisono.
Kementerian Kesehatan, pada 26 Desember 2022 masih ngotot menggunakan nomor layanan berhenti merokok. ”Pada 23 Januari, layanan berhenti merokok (0800-177-6565) sudah ditutup. Pertanyaannya, apakah karena kami sering menanyakan program-program yang dicanangkan Kementerian Kesehatan? Kami sering pertanyakan karena hasil monitoring evaluasinya kami tidak dapatkan datanya,” jelas Hananto Wibisono.
AMTI juga menyayangkan Kemenko PMK dan Kemenkes yang tidak memberikan narasi utuh kenapa perlu mendorong revisi PP 109/2012. ”Kalau memang belum perlu revisi, maaf, nggak harus nafsu melakukan revisi. Hitungannya bukan aritmetik 1, 2, 3, atau 10 tahun harus direvisi,” terang Hananto.
Dia menegaskan, PP 109/2012 masih bisa digunakan agar dioptimalkan secara maksimal. ”Tinggal implementasi yang baik, ketegasan atas implementasi itu. Kita sudah punya instrumen hukum kira-kira 300-an peraturan. Sektor tembakau ini sektor yang padat regulasi, kurang apa lagi?” tutur Hananto Wibisono.
Sementara itu, pengurus Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) Jawa Timur, Ketut Mujianto menegaskan, wacana rencana revisi PP 109/2012 akan mengerdilkan ekosistem pertembakauan. ”Rencana tersebut pasti kita lawan semaksimal mungkin dan sudah kami buktikan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya,” ucap Ketut.
”FSP RTMM Jawa Timur akan menempuh melalui dua cara. Satu, melalui surat menyurat, birokrasi, dan lain sebagainya. Tapi jika tidak dihiraukan, dipastikan turun ke jalan, baik secara lokal Jawa Timur maupun nasional,” jelas Ketut.