BARU-baru ini media sosial (medsos) dihebohkan dengan peristiwa penganiayaan oleh seorang anak pejabat pajak yang berujung masalah harta kekayaan ayahnya. Pelaku memamerkan di medsos mengendarai Rubicon dan moge, yang menurut penilaian seharga lebih dari ratusan juta.

Dalam peristiwa yang terkait pejabat pajak, sepatutnya masyarakat, khususnya pejabat penyelenggara negara, memahami UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). UU aquo adalah UU payung (umbrella act) peraturan perundang-undangan yang mengatur KKN yang hanya dapat dilakukan penyelenggara negara atau saat ini dikenal sebagai aparatur sipil negara.

Ketika membaca ketentuan UU Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, fokus utama adalah siapa subjek yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian adakah kerugian keuangan atau perekonomian negara yang diakibatkan oleh penyelenggara negara tersebut. Dalam praktiknya, justru yang dicari adakah kerugian keuangan atau perekonomian negara dari perbuatan penyelenggara yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi (lazim dari LHP BPK/BPKP).

Di UU 28/1999 telah dinyatakan, korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Di dalam definisi tersebut jelas dan terang bahwa pelaku tipikor dan subjek hukum adalah hanya penyelenggara negara, bukan yang lain.

Namun, di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU 20/2001, diikutsertakan juga keuntungan selain bagi diri sendiri (pelaku), yakni orang lain atau korporasi. Penafsiran hukum atas dua ketentuan tersebut menunjukkan bahwa orang lain atau korporasi dapat ditetapkan sebagai pelaku tipikor. Sehingga subjek hukum dalam tipikor telah diperluas sedemikian rupa menjadi penyelenggara negara, orang lain selain penyelenggara negara, dan korporasi. Konsekuensinya, dalam praktik semakin tidak jelas siapa pelaku utama dan pelaku peserta. Sejalan dengan konsep pelaku-peserta, yaitu adanya meeting of mind and action, fungsi dan peran pelaku dalam tipikor bisa terjadi, pelaku dan/atau pelaku peserta.

Penyelenggara negara dalam menyelenggarakan pemerintahan itu diwajibkan menjalankan asas-asas umum penyelenggaraan negara. Meliput asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Tujuh asas tersebut merupakan landasan moril dan hukum penyelenggara negara untuk setiap tugas dan tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan. Tujuannya, setiap keputusan yang diambil memperoleh rida dan rahmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Setiap penyelenggara negara juga berkewajiban untuk: bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat; serta tidak melakukan perbuatan KKN. Di dalam kenyataan beberapa kasus megaskandal korupsi dipastikan terdapat perbuatan penyelenggara negara. Sedangkan kolusi dan nepotisme, tampaknya, hampir jarang diterapkan ketentuan keduanya di dalam UU 28/1999, seperti dalam kasus Formula E terkait hubungan AB dan DPJ, kasus BTS terkait adik Menkominfo, kasus Kementerian Perdagangan, dan korupsi di Provinsi Papua.

Sedangkan diketahui bahwa dua jenis perbuatan tersebut telah dinormakan dan diancam pidana. Pelaku kolusi diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Ancaman pidana untuk pelaku tindak nepotisme juga sama.

Peristiwa pejabat pajak yang diduga memiliki harta kekayaan pribadi senilai Rp 50 miliar dan dipertanyakan asal usulnya tidak akan terjadi jika KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) tidak dibubarkan dan dilebur ke dalam tugas dan tanggung jawab KPK berdasar UU 30/2002. Komisi pemeriksa tersebut merupakan lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden selaku kepala negara.

KPKPN memiliki lima tugas dan wewenang yang sangat strategis untuk mencegah lebih dini kemungkinan praktik KKN. Pertama, memantau dan mengklarifikasi atas harta kekayaan penyelenggara negara. Kedua, meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya KKN dari para penyelenggara negara. Ketiga, menyelidiki atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan penyelenggara negara berdasar petunjuk adanya KKN terhadap penyelenggara negara yang bersangkutan.

Keempat, mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk penyelidikan penyelenggara negara yang diduga melakukan KKN atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan penyelenggara negara yang bersangkutan. Kelima, jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan penyelenggara negara yang diduga diperoleh dari KKN selama menjabat sebagai penyelenggara negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Merujuk pada lima tugas dan wewenang KPKPN sesungguhnya bertujuan membantu dan melengkapi tugas dan wewenang KPK yang fokus pada strategi penindakan; dua strategi preventif dan represif memang didesain pada tahun 1999, era reformasi; untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas KKN (good governance) yang saat ini mengalami kegagalan total dalam strategi preventif oleh KPK.

Banyak kasus korupsi yang terjadi, LHKPN baru diklarifikasi dan diketahui harta kekayaan penyelenggara negara sesungguhnya. Kelambanan kinerja deputi pencegahan sesungguhnya disebabkan keterbatasan SDM di kedeputian pencegahan yang tidak pernah teratasi sejak KPK jilid I Taufiq Ruki cs sampai saat ini. Hal itu disebabkan KPK terlalu memfokuskan diri pada strategi penindakan saja, termasuk OTT, sedangkan strategi pencegahan terabaikan. (*)


*) ROMLI ATMASASMITA, Mantan Ketua Tim RUU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 1999

By admin