JawaPos.com – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dinilai secara serampangan dan ugal-ugalan menganulir mandat konstitusi, tepatnya Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, berkaitan dengan masa waktu pemilihan umum. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, adagium hukum yang menyebutkan Res Judicata Pro Veritate Habetur (putusan hakim harus dianggap benar) sangat sulit diimplementasikan dalam putusan ini.
Melalui Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, majelis hakim mengatakan bahwa tahapan pemilihan umum tahun 2024 yang sudah berjalan harus dihentikan dan diulang dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
“Putusan ini bukan lagi keliru substansinya, namun amat kental dengan nuansa politis,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Senin (6/3).
Kurnia menjelaskan, secara terang benderang PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA). Sebab, yurisdiksi hukum yang tepat memproses tuntutan Partai Prima adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Atas konteks itu, maka berdasarkan Pasal 466 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), konteks permasalahan hukum Partai Peima masuk pada kategori Sengketa Proses Pemilu. Oleh karenanya, merujuk pada Pasal 468 dan Pasal 470 UU Pemilu, yurisdiksi hukum bukan PN, melainkan Bawaslu dan PTUN,” tegas Kurnia.
Dalam rentang Oktober sampai dengan Desember 2022, Partai Prima sempat mengajukan sengketa proses Pemilu kepada Bawaslu dan PTUN, keduanya pun ditolak. Menurut Kurnia, jika berpijak pada keterbatasan ruang upaya hukum yang disebut dalam UU Pemilu, maka seharusnya putusan terakhir pada PTUN dianggap final dan mengikat.
“Berbagai upaya hukum yang ditempuh oleh Partai Prima ditambah objek gugatan sama, tentu menggambarkan bahwa mereka menafsirkan permasalahan ini sebagai sengketa proses Pemilu. Maka dari itu, menjadi tak masuk akal jika diteruskan kepada lembaga yang tidak diberikan kewenangan untuk menyidangkan, yaitu PN Jakarta Pusat,” cetus Kurnia.
Kurnia pun memandang, putusan PN Jakarta Pusat disinyalir turut menjadi rangkaian agenda politik sejumlah pihak, untuk menunda penyelenggaraan pemilu. Bagaimana tidak, isu penundaan pemilu terus bergulir, bukan hanya saat ini saja, melainkan telah digaungkan sejak lama.
“Tentu masyarakat masih mengingat bagaimana sejumlah pihak sempat mewacanakan hal serupa, mulai dari Luhut Binsar Panjaitan, Zulkifli Hasan, Bahlil Lahadalia, Bambang Soesatyo, Muhaimin Iskandar, dan banyak pihak lainnya. Kalau dilihat dari latar belakang mereka dan konteks putusan PN Jakarta Pusat, maka lengkap sudah seluruh cabang kekuasaan berupaya merenggut hak masyarakat dalam pemilu tahun 2024 mendatang,” pungkasnya.