Janji fajar yang berseri dimulai dari menghirup aroma kopi dan menyesap rasa pahit manis yang pekat itu. Satu regukan saja membuat para penikmatnya serasa mampu menaklukkan apa pun.
KOPI adalah bagian dari keseharian kita. Beragam cara kopi itu dinikmati; kopi hitam, kopi dengan susu, kopi dengan campuran sirup aren, hingga yang agak eksentrik, kopi dengan sari perasan lemon. Setiap orang punya cara kesukaannya bagaimana kopinya disajikan, masing-masing seduhan, dengan mesin espreso, atau moka pot, french press, pour over, hingga gaya tubruk. Tidak melupakan yang terpenting, variasi biji kopi beserta segala jejak rasa mereka bergantung dari daerah kopi tersebut berasal. Ada kopi dengan aroma buah, atau lezatnya jejak rasa cokelat, bahkan sedikit percikan wangi bunga, juga rempah.
Di balik kesenangan budaya minum kopi, ternyata terdapat sejarah kuasa dan kekerasan yang panjang. Kopi yang berasal dari akar kata bahasa Turki, kahveh yang dalam tradisi Arab terhubung juga dengan kata qahwah yang dapat juga diinterpretasikan sebagai warna yang gelap. Tradisi mengonsumsi kopi telah berlangsung semenjak abad ke-15, yang kemudian tersebar ke berbagai wilayah, khususnya Arab, dan memiliki keterkaitan dengan budaya kaum sufi. Bagi pengikut ajaran sufi, kopi dikonsumsi sebagai bagian dari ritual yang membantu mereka terjaga saat melakukan ritus. Dalam riset yang dilakukan Ross W. Jamieson, ia menguraikan asal usul perkembangan kopi, dari Ethiopia lalu dikultivasikan di Yaman pada pertengahan abad ke-15, kopi kemudian tersebar ke berbagai wilayah, termasuk Syria dan Turki. Sementara itu, di Istanbul, kedai kopi menjadi populer. Orang-orang bertemu di kedai kopi sambil berdiskusi tentang bermacam isu. Pada tahun 1560-an dikatakan bahwa lebih dari 600 kedai kopi meramaikan Kota Istanbul.
Saya berdiskusi dengan Bonnie Triyana –seorang sejarawan. Ia menjelaskan bahwa sejarah kopi di Nusantara erat terpaut dengan ambisi perdagangan VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur). Selama penjajahan Belanda, utamanya pada awal 1700, uji coba budi daya kopi menjadi misi penting bagi mereka. Mereka menanam di berbagai wilayah, lalu kesuksesan di Priangan yang membuat kopi dipandang sebagai salah satu komoditas yang menguntungkan dari tanah Jawa. VOC mengendalikan perdagangan kopi secara monopoli. Mereka mengakali perdagangan dengan mengatur harga sehingga dapat melipatgandakan keuntungan. Semasa pemerintahan kolonial, mereka menerapkan sistem tanam paksa demi meningkatkan produksi kopi. Hal ini menyebabkan siksaan dan kesengsaraan bagi para petani. Para petani hidup dalam keadaan yang malang, miskin, dan mengalami kekerasan. Pada abad ke-19, kopi dari Jawa begitu terkenal dan amat digemari orang-orang Eropa. Tetapi, popularitas kopi ini tidak serta-merta membuat orang tersadar bahwa kemewahan orang-orang di Eropa menyeruput kopi sejatinya diliputi kelamnya fakta eksploitasi, perhambaan, dan penderitaan rakyat yang terjajah.
Saya turut mengikuti diskursus kekerasan berbasis etnis yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994. Genosida yang terjadi, menurut seorang peneliti bernama Isaac A. Kamola, bukan saja soal pertikaian antaretnis. Ia mengkritik bagaimana selama ini pengertian tentang sejarah politik dan kekerasan di Afrika dipandang sempit, padahal ada bagian penting yang menurutnya juga melibatkan kolonialisme yang terjadi di Rwanda. Kamola menuding bahwa semasa pemerintah kolonial Jerman dan Belgia, pecah belah antara etnis Tutsi dan Hutu diberlakukan demi merawat kekuasaan kolonial. Kepentingan pemerintah kolonial adalah subjugasi Rwanda demi kekayaan dan hasil bumi yang melimpah, termasuk kopi. Jerman melakukan pengembangan perkebunan kopi secara agresif di Rwanda semenjak 1905. Ketimpangan kelas dan segregasi yang disebabkan eksploitasi karena kopi semakin membuat kecurigaan antaretnis memburuk. Kamola berargumen bahwa, ketika krisis ekonomi terjadi, termasuk jatuhnya industri kopi pada tahun 1990-an, ia ingin mengingatkan keterhubungan brutalitas kekerasan yang terjadi di Rwanda dengan penerapan struktur ekonomi yang kapitalistik.
Saya merenungkan perihal sejarah kekerasan dan kekuasaan yang terikat bersama kopi. Selanjutnya, apakah yang dapat kita maknai dan reimajinasikan tentang masa depan masyarakat kita terkait dengan kopi? Bagaimanakah kopi dimaknai dari perspektif yang setara dan sarat akan semangat kesejahteraan bersama? Bagaimana mendorong praktik baik perdagangan yang adil sehingga para petani kopi dapat hidup makmur dan sejahtera di tanahnya sendiri? Begitu pula mengumpulkan dan menyusun pengetahuan tentang kopi lokal beserta segenap kebiasaan dan budaya yang menyertainya. Ini adalah kiat memuliakan kopi dan masyarakat yang merawat dan mempertahankannya. Terngiang di benak, saat berbicara dengan seorang petani di tanah Gayo, ia menjelaskan kepada saya bahwa menanam benih kopi merupakan suatu ritual. Layaknya ritual perkawinan, jalinan terjadi antara benih dan tanah diberkati angin. Percintaan ini disaksikan air dan matahari. Ritual suci ini didekap erat oleh kilau Danau Lut Tawar. (*)
—
SARAS DEWI, Dosen Filsafat Universitas Indonesia