Bahasa sastrawi Deddy Arsya membuat proses modernitas yang dibuka pemerintah kolonial jadi tersaji begitu bening, begitu hening. Seolah terlepas dari tegangan dan pergulatan. Padahal, Padang Panjang di mana jejak modernitas ini ditelaah juga dikenal sebagai basis kehidupan tradisional.

“DJAMAN kemadjoean” sebagai frasa modernitas niscaya mengasumsikan ada yang sebaliknya: ”djadoel” alih-alih tradisionalitas. Modernitas memang ditandai hal-hal bergerak maju: jarum jam, gambar idoep, kuda pacu, hingga auto dan kereta yang menderu.

Itu terlihat ketika pemerintah kolonial membuka pintu modernitas bagi negeri jajahan. Jejaknya tak lekang di Padang Panjang, kota kecil Sumateras Weskust atau Sumatera Barat sekarang. Letaknya strategis, titik hubung pesisir-pedalaman Minangkabau.

Deddy Arsya mendedah rupa-rupa cerita di titik simpang strategis itu. Mulai sejarah kota sebagai tempat garnisun penggempur Padri, gudang induk kopi, ibu kota afdeling, hingga pasar yang ramai. Lalu benda-benda dan teknologi bicara: dering bel sepeda, auto dan kereta api berlari, kodak-fotografi, surat kabar, listrik, penjara, pos.

Lebih banyak lagi cerita gaya hidup: perang mode gadis kota dan santri perlente, rumah gedung gaya Eropa vs rumah gaduang pribumi beserta perabotnya: kursi goyang, biola, piano. Di luar sana ada hotel, bioskop, orkestra, dan toko buku. Juga titik ekspedisi sehubungan letak kota yang strategis tadi: ekspedisi Ijzerman dan Neumann. Di bidang pendidikan ada sekolah gubernemen dan surau yang direformasi. Komplet.

Kalam Deddy mengalir seperti Sungai Batang Antokan: bening, deras, gemercik. Rujukannya sejumlah karya babon seperti kajian Christine Dobbin, Freek Colombijn, Elizabeth Graves, Denys Lombard, Djoko Soekiman, Tsuyoshi Kato, Henk Schulte, dan Gusti Asnan.

Juga berita koran, brosur, catatan perjalanan, dan laporan kotapraja. Tentu saja Rudolf Mrazek. Karyanya tentang teknologi dan nasionalisme di Hindia (2006) jadi semacam cetak biru, tapi diperkaya bahasa sastrawi. Hal ini membedakan Mrazek dengan Deddy Arsya saya kira; satu ilmuwan sosial, satu lagi dosen sejarah cum sastrawan.

Tak heran, Deddy berhasil menghidupkan referensi lebih dari sekadar catatan kaki, sekalipun referensi itu berasal dari karya biasa. Misalnya, biografi A.A. Navis yang ditulis sang adik, Anas Navis, jadi bernilai istimewa.

Bahasa sastrawi Deddy membuat proses modernitas jadi tersaji begitu bening, begitu hening. Seolah terlepas dari tegangan dan pergulatan. Padahal, Padang Panjang juga dikenal sebagai basis kehidupan tradisional.

Rasanya mustahil mulus berubah seperti bersalin baju atau seluar. Sebab, sangat mungkin orang di kota kecil itu bukan hanya merengkuh, tetapi juga direngkuh ”djaman kemadjoean” itu.

”Merengkuh” menunjukkan upaya pihak ”dalam” mengambil yang datang dari luar. Sebagaimana orang Padang Panjang sukacita merayakan apa-apa yang datang dari seberang lautan. Sedangkan ”direngkuh” menegaskan upaya luar melibatkan pihak ”dalam” dan itu belum tentu sukacita. Bukankah kolonial justru menjadikan modernitas sebagai alat tukar atas tradisionalitas? Wataknya eksploitatif sejak awal.

Munculnya jalur kereta api, misalnya, didorong kebutuhan mengangkut batu bara dari Sawahlunto ke Emma Haven. Jalan satu-satunya lewat celah sempit Lembah Anai di Padang Panjang. Kereta api lalu jadi moda transportasi massal, membawa orang dan barang ke segala arah: Fort de Kock, Payakumbuh, Solok, dan Padang.

Status kota garnisun, gudang kopi, dan ibu kota afdeling tak lepas dari proses bagaimana warga ”direngkuh”. Bahkan, politik etis pendidikan jadi cara merekrut pangreh praja. Sistem politik kolonial mereduksi sistem tradisional.

Di tengah situasi itu, mustahil modernitas diterima lempang saja. Memang Padang Panjang cepat dan adaptif menyerap segala sesuatu dari luar. Boleh jadi ia gambaran ideal Elizabeth Graves tentang Minangkabau awal abad ke-19: daerah paling banyak menyerap pengaruh Barat.

Jalur utamanya sebenarnya adalah pendidikan. Namun, sebelum pendidikan kolonial datang, kota kecil itu sudah mengenal sistem pendidikan berkemajuan; surau.

Beda dengan di tempat lain, di kota itu surau merupakan pusat pendidikan yang masif. Bukan hanya halakah atau sorogan, namun menempatkan sanad keguruan dan ilmu-ilmu kemasyarakatan secara solutif. Munculnya pendidikan Barat tentu tidak serta-merta terterima. Sekecil apa pun pasti menimbulkan gesekan.

Deddy sendiri mengakui modernitas merupakan gejala pelik di Minangkabau: diterima sekaligus ditampik (halaman 5). Tak terkecuali di Padang Panjang, sekalipun kota itu dianggap sangat dinamis. Tapi, proses pelik itu kurang diakomodasi Deddy. Apakah karena ia sadar bahwa modernitas sebatas selaput tipis dari daging tebal tradisionalitas, sejenis modernitas palsu? Karena terbukti proses merengkuh ”djaman kemajoean” itu berhenti dengan sendirinya ketika Jepang datang tahun 1940-an (halaman 165).

Terlepas dari itu, tak terakomodasinya proses ”merengkuh” dan ”direngkuh”, menurut saya, terletak pada pola yang dipakai Deddy. Yakni, kajian budaya (cultural studies) yang analog dengan ketakjuban orang dulu melihat modernitas. Akibatnya, pola ini diterima luas, mulai di kalangan penulis lepas hingga peneliti di universitas.

Beruntung, Deddy punya modal bahasa yang kuat sebagai sastrawan. Dari bahasa sastrawinya itulah memercik pergulatan, sakit dan derita kaum ”kemadjoean”: Izerman mengamati, tetapi ia juga diamati (halaman 142); ketika kaum komunis ditangkapi, gembongnya digantung di depan umum; ketika berkapal-kapal orang dikirim ke Digul untuk menjalani pembuangannya, dan gerbong-gerbong kereta uap penuh sesak oleh tawanan…orang-orang di surat kabar malah merayakan fotografi.

”Inilah contoh foto yang bagus,” kata redaktur koran itu mengomentari foto barisan pemberontak yang dirantai (halaman 109-110).

Narasi penuh paradoks begini terbentang luas dalam buku, menyusupkan daya kritis. Narasi itu kian kentara di Prakata, Pendahuluan, dan Epilog yang rapi mengabstraksikan isi buku.

Hanya ada sedikit kekurangcermatan. Di Epilog, jumlah penduduk Padang Panjang disebut 6 juta orang tahun 1920 dan 10 juta orang tahun 1930 (halaman 160). Padahal, jumlah yang benar sudah tercantum di halaman 36: tahun 1920 penduduknya 6.842 jiwa, tahun 1930 naik jadi 9.609 jiwa. (*)

*) RAUDAL TANJUNG BANUA, Penulis buku Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai, tinggal di Jogjakarta

 

  • Judul: Merengkuh Djaman Kemadjoean: Dinamika Modernitas Kota Kecil
  • Penulis: Deddy Arsya
  • Penerbit: Tanda Baca, Jogjakarta, November 2022
  • Tebal: xviii + 174
  • ISBN: 978-623-9397-76-0

By admin