JawaPos.com – Badan Pangan Nasional (Bapanas) menargetkan kebijakan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras pada 2023 sebesar 1-1,5 juta ton. Persisnya sebesar 1,2 juta ton. Jumlah ini merujuk pada volume operasi pasar beras 2022.
“Rata-rata 100.000 ton per bulan. Dua bulan terakhir ini sudah hampir 400.000 ton lebih 200.000 ton per bulan,” tutur Direktur Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Bapanas, Maino Dwi Hartono dalam keterangan tertulisnya kepada JawaPos.com.
Maino menjelaskan, sesuai kondisi lapangan, pada Januari hingga Februari harga masih tinggi. Panen raya juga belum serempak, sehingga pengeluaran SPHP beras masih cukup tinggi.
Selain menargetkan SPHP beras pada 2023 sebesar 1,2 juta ton, kata Maino, Bapanas menargetkan stok akhir yang dikuasai Bulog sebesar 1,2 juta ton. Artinya Bapanas mengharapkan Bulog bisa mengelola cadangan beras pemerintah (CBP) 2,4 juta ton.
“Kami belajar dari pengalaman akhir 2022. Bagaimana pemerintah dalam hal ini Bulog, hanya memiliki cadangan 400.000 ton. Secara psikologis, pasar bisa melihat pemerintah tidak punya stok, sehingga harga menjadi tinggi,” tutur dia.
Cadangan yang rendah terjadi karena penyerapan gabah/beras oleh Bulog pada 2022 rendah. Agar kejadian serupa tak terulang, kata dia, Bapanas menugaskan Bulog untuk menyerap gabah/beras petani saat panen raya Maret-Mei. Di semester I-2023, jelas Maino, Bapanas berharap Bulog bisa menyerap 60-70 persen dari target.
Maino juga menjelaskan, sampai 2 Maret 2023 Bulog telah menyalurkan SPHP beras 420.203.513 kg untuk meredam laju kenaikan harga beras di tingkat konsumen. Namun dia memastikan, pelaksanaan SPHP beras akan dievaluasi setiap bulan.
Bapanas juga telah meminta kepada gubernur, bupati, dan wali kota untuk saling berkolaborasi dalam pelaksanaan program SPHP beras 2023. Agar, kata Maino, manfaat SPHP beras dapat dirasakan secara maksimal oleh masyarakat.
Merespons hal itu, pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori, SPHP beras dengan instrumen operasi pasar beras umum pada dasarnya sama dengan operasi pasar, yakni sama-sama tak menjamin kepastian outlet penyaluran beras Bulog.
“Pengelolaan CBP tanpa outlet penyaluran pasti itu perlu perputaran stok yang cepat agar kualitas beras tak turun dan stok tak menumpuk. Sampai saat ini outlet perputaran stok yang cepat, pasti, dan besar itu belum tersedia,” kata dia.
Situasi ini terjadi sejak pemerintah mengubah Raskin/Rastra menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT). Ketika Raskin/Rastra masih ada, kata Khudori, kebijakan perberasan terintegrasi hulu-tengah-hilir. Kewajiban pengadaan di hulu yang besar oleh Bulog dijamin oleh kepastian outlet penyaluran di hilir.
Khudori mencontohkan, pada 2014-2016, Bulog menyalurkan 3.295.022 ton beras. Dari jumlah itu, 2.919.739 ton beras di antaranya terserap untuk Raskin/Rastra. Ketika Raskin/Rastra diubah jadi BPNT, outlet ini hilang. Sebagai gantinya, kata dia, pemerintah menciptakan kebijakan Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH), yang secara prinsip tidak ada bedanya dengan SPHP beras saat ini.
Operasi pasar, kata dia, adalah instrumen untuk menstabilkan harga beras. Keberhasilan operasi pasar amat bergantung pada kondisi pasar. Karena sifatnya yang kondisional, volume operasi pasar tidak bisa ditargetkan. Ketika ditargetkan, bahkan ada target harian, akan membuat penetrasi pasar lemah.
Khudori juga membeberkan volume KPSH rentang 2018-2022 yang hanya 843.646 ton per tahun atau hanya 28,8 persen dari rerata penyaluran Raskin/Rastra sebesar 2.919.739 ton beras per tahun. Turunnya penyaluran ini, jelas dia, diikuti oleh penurunan pengadaan beras Bulog: dari rerata 2,16 juta ton jadi 0,811 juta ton beras.
Ketidakpastian KPSH sebagai outlet penyaluran beras Bulog, jelas Khudori, tampak dari volume yang fluktuatif: hanya 544.723 ton beras pada 2018 dan mencapai 1.261.215 ton beras pada 2022.
“Ketika SPHP/KPSH yang tidak pasti dijadikan outlet utama penyaluran beras Bulog, ketidakpastian itu ditransfer ke Bulog dalam berbagai bentuk risiko. Salah satunya risiko keuangan,” kata dia.
Agar ini tidak terjadi, jelas Khudori, pemerintah diminta mengintegrasikan kembali kebijakan perberasan hulu-tengah-hilir. Caranya, kata dia, mewajibkan penerima BPNT untuk membeli beras Bulog dalam jumlah tertentu. Misalnya, 5 kg per bulan per keluarga. Dengan harga Rp 10.000/kg hanya keluar uang Rp 50 ribu.
Menurut Khudori, jumlah ini cukup moderat. Karena penerima BPNT masih punya Rp 150 ribu sisanya untuk membeli berbagai pangan pokok, seperti telur, minyak goreng atau gula. Agar preferensi konsumsi beras penerima BPNT tetap terjaga, kata dia, Bulog bisa diwajibkan menyediakan beras lebih dari satu kualitas.
Selain itu, Bulog bisa diwajibkan menjual beras dengan harga yang sama di seluruh Indonesia. Khudori menjelaskan, harga aneka pangan, termasuk beras, lebih murah di Jawa ketimbang di luar Jawa. Karena dengan nilai bantuan sama sebesar Rp200 ribu per bulan per keluarga, nilai tukar penerima BPNT di luar Jawa lebih rendah ketimbang di Jawa.
“Harga sama di seluruh Indonesia itu bagian dari keadilan,” jelas dia.
Lewat cara ini, jelas Khudori, setidaknya sebulan ada outlet penyaluran pasti beras Bulog sebesar 100 ribu ton. Bapanas, kata dia, bisa juga mengembangkan outlet lain untuk golongan anggaran, baik PNS/ASN, TNI maupun Polri. Juga pegawai BUMN. Mereka-mereka ini, kata dia, bisa diwajibkan membeli beras Bulog.
Ketika kebijakan perberasan kembali terintegrasi, kata Khudori, secara tidak langsung pemerintah akan punya instrumen stabilisasi harga yang langsung tersambung ke konsumen akhir. Ketika ada gejolak harga, pemerintah bisa menambah volume bantuan BPNT dalam bentuk wajib membeli beras Bulog.
“Instrumen tidak langsung ini terbukti efektif mengendalikan harga beras dan inflasi, seperti saat Raskin/Rastra masih ada. Ini juga akan menekan aneka potensi penyimpangan seperti pada operasi pasar Bulog saat ini,” jelas dia.
Terakhir, Khudori mengusulkan agar pemerintah mengisi CBP dengan beras multikualitas. Sejak 1970-an, jelas dia, CBP diisi beras kualitas medium. Dengan satu jenis kualitas intervensi pasar seringkali tak efektif.
“Tentunya dengan multikualitas, intervensi lebih efektif dan penggunaan CBP lebih luas,” jelas dia.