JawaPos.com- Jalan Gula Surabaya masuk dalam kawasan pecinan tempo dulu. Pada zaman kolonial Belanda, jalan itu dikenal dengan nama Suikerstraat. Setiap hari aktivitas bongkar muat terjadi di lokasi tersebut.
Terutama komoditas gula dan hasil perkebunan. Mulai teh, cokelat, hingga kopi. Pengirimannya dilakukan lewat jalur laut. Melalui Sungai Kalimas menuju Pelabuhan Tanjung Perak. ”Karena belum ada nama, pada 1900-an lokasi itu dinamai Suikerstraat atau Jalan Gula,” jelas Direktur Heritage Walk Subtrack Toufan Hidayat kemarin (1/3).
Jalan Gula memiliki panjang sekitar 100 meter. Bangunan-bangunan tua yang tetap terjaga membuat suasana tempo dulu terasa hingga saat ini. Tidak sedikit wisatawan yang datang ke lokasi tersebut untuk berfoto bersama.
Meski usianya telah menginjak lebih dari satu abad, aktivitas bongkar muat di Jalan Gula tetap ada. Tingkat kepadatannya hampir sama pada zaman Belanda dulu. Hanya, saat ini pengiriman barang sepenuhnya menggunakan jalur darat. Tidak seperti dulu pengiriman didominasi melalui jalur laut.
Viaduk Gubeng Saksi Bisu
Kota Pahlawan memang menyimpan banyak kisah dan peninggalan lama yang dapat dimanfaatkan hingga kini. Di antaranya, viaduk atau struktur jembatan dan jalan kereta. Salah satunya berada di Jalan Mayjen Prof Dr Moestopo atau lebih dikenal dengan viaduk Gubeng.
Berdasar catatan Jawa Pos, bangunan beton bertulang itu tuntas dibangun pada 1915. Menurut Kranten De Preanger-bode, peresmian dilakukan pada 29 Juli 1915. Pembangunan viaduk Gubeng tersebut berguna untuk mencegah kecelakaan kereta. Sebab, akses dari timur menuju Gubeng Pojok atau ke Ketabang kala itu melewati perlintasan kereta tanpa palang pintu.
Pegiat sejarah Begandring Soerabaia Ady Setyawan mengatakan, viaduk Gubeng yang sudah berumur satu abad lebih itu menyimpan banyak memori. Khususnya perkembangan dan pembangunan Kota Surabaya. ’’Termasuk pertempuran Surabaya di bulan November. Kami mendapati foto arsip nasional Belanda, bagian jembatan rusak,’’ katanya kemarin (1/3).
Menurut dia, penting kiranya merawat ingatan secara kolektif. Hal itu bertujuan agar semua pihak dapat menjaga dan merawat bersama-sama. ’’Setahun sekali bisa ditutup total, semacam car free day ya. Di sana bisa diadakan pameran di ruang terbuka,’’ ungkap penulis buku Kronik Pertempuran Surabaya itu.
Jika dikelola dengan baik, tak hanya merawat ingatan kolektif, tetapi juga dapat menggerakkan perekonomian masyarakat.