Bagi Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Surabaya, keluarga dapat menjadi tempat pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hidup anggotanya. Lembaga itu mengemas pembelajaran keluarga dengan cara menyenangkan.
AZAMI RAMADHAN, Surabaya
RUANG demi ruang di kantor puspaga tak pernah sepi pengunjung. Ekspresi aktivitas warga, orang tua, dan anak-anak membuat ruang bermain begitu hidup. Diskusi dan sharing permasalahan keluarga jadi kegiatan rutin di gedung Siola lantai 2 itu.
Pelayanan yang diberikan puspaga berfokus pada keluarga dan anak. Mulai dari konseling, konsultasi, hingga peningkatan kapasitas pengasuhan anak dan keluarga. Tentu tak sebatas kasus kekerasan yang menimpa pada anak maupun perempuan semata.
’’Iya, salah satu upayanya adalah menjadikan Surabaya kota layak anak di level nasional maupun internasional,’’ kata Kabid Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-PPKB) Thussy Apriliyandari.
Agar semakin dekat dengan masyarakat, puspaga membentuk basis pelayanan di RW yang diresmikan November tahun lalu. Jumlahnya kini mencapai 20 titik. Karena itu, di sana warga yang hadir tak sekadar menjadi objek. Tapi, juga pelaku aktif.
’’Semula ada 20 balai RW. Tahun ini ikhtiar kami jadi 153 balai RW. Termasuk per kelurahan ada,’’ jelasnya. Bagi dia, jumlah tersebut tak sebatas angka, tapi bagaimana agar menciptakan ruang untuk mencari alternatif solusi bagi permasalahan anak dan keluarga.
Menurut dia, harapan besar untuk menggapai kota layak anak nasional dan internasional itu memiliki banyak fondasi. Salah satunya, pelaksanaan bimbingan bagi calon pengantin (catin) secara rutin, baik offline maupun online. Terakhir, puspaga menggelar kelas tersebut Sabtu (25/2) dengan melibatkan 70 peserta.
’’Kajian kami, program ini penting diselenggarakan. Kaitannya dengan mindset. Rumusnya, pengantin siap + perkawinan sigap = stunting pun lenyap,’’ papar perempuan yang juga menjabat ketua tim Puspaga Surabaya itu. ’’Yang lain, seperti keharmonisan, cegah kekerasan seksual, KDRT, itu mengikuti. Sebab, sudah ada basic pengetahuannya,’’ sambungnya.
Selama pelayanan, Thussy dan tim mengaku, secara tak langsung banyak hal yang didapat. Sebab, yang dijumpainya adalah masalah. Khususnya, calon pengantin dan keluarga muda yang didominasi milenial (gen Y) dan i-generation (gen Z).
’’Dua generasi itu bisa dibilang lebih unik ya. Lebih pede dan rasa ingin tahu tinggi. Beda dengan generasi sebelumnya. Termasuk problemnya juga unik,’’ ungkapnya.
Lebih khusus, generasi Y dan Z kuat dipengaruhi oleh digitalisasi. Tentu, hal itu berpengaruh pada pola pengasuhan anak ke depan.
Untuk itu, pelayanan kepada calon pengantin dan keluarga muda juga disesuaikan dengan perspektif generasi. Dengan begitu, hal-hal yang tak diinginkan, seperti stunting dan kekerasan pada anak, dapat dicegah secara sistemik.
Dalam pencegahan stunting, perekonomian dan pendidikan orang tua sangat perlu untuk ditingkatkan. Sebab, masih dijumpai keluarga yang kurang, bahkan tidak peduli. Mereka cenderung abai dan tidak memedulikan pola asuh penuntasan stunting.
’’Bahkan, ada yang sangat peduli. Istilahnya, shopping informasi. Semuanya diterapkan. Yang kategori peduli juga ada. Masih ada filterisasi informasi,’’ jelasnya.
Hingga kini untuk memperkuat proses pelayanan, puspaga melibatkan banyak ahli dan praktisi. Ada 11 petugas layanan yang terdiri atas 5 konselor dan 1 psikolog tetap. Dibantu dengan 5 petugas administrasi dan 17 psikolog volunter. ’’Jangan canggung. Monggo mampir ke Siola,’’ katanya.