SETIAP institusi, lembaga, atau perusahaan selalu melakukan perubahan-perubahan, baik kasatmata (fisik) maupun yang sifatnya dirasakan. Misalnya, perubahan logo, penampilan dari wajah/muka gedung (fasad), atau sistem pelayanan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan yang akan berdampak positif untuk membangun trust (kepercayaan) dan loyalty (kesetiaan).
Tulisan ini salah satunya mengambil contoh perubahan yang dilakukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BPJAMSOSTEK. Fasad gedung kantor kini tampak lebih charming, minimalis, dan memberikan kesan bersahaja yang comfy. Di ruang pelayanan, selain lebih terang, tata letak perabotan lebih modern dan simpel. Juga, keramahan petugas frontliner saat menyambut pengunjung. Perubahan-perubahan tersebut merupakan upaya badan publik ini agar kehadirannya selalu diingat, khususnya bagi pekerja sebagai target peserta.
Pelayanan Digital vs Konvensional
Tidak dimungkiri, di era digital, lembaga nirlaba ini juga bertransformasi dari layanan konvensional ke digital, memperpendek jarak antara petugas di kantor dan peserta di mana pun berada. Sebagai antisipasi target kepesertaan pada 2026, yaitu 70 juta peserta, pelayanan tidak akan lagi hanya mengandalkan layanan fisik (konvensional) di mana jumlah peserta masih sebanyak 36 jutaan. Dibutuhkan pelayanan digital yang mudah diakses. Saat ini, untuk kebutuhan itu, ada layanan tanpa kontak fisik (Lapak Asik) dan aplikasi Jamsostek Mobile (JMO) dari handphone peserta.
Namun, bukan berarti pelayanan konvensional terabaikan. Mengusung konsep new service blueprint (NSBP), BPJAMSOSTEK justru ingin memberikan bukti kepada konsumen (peserta) untuk mendapatkan pengalaman lebih baik. Kantor adalah perwujudan simbol yang akan diingat. Dengan digitalisasi, memang terjadi pengurangan petugas secara fisik. Ini adalah konsekuensi. Pertanyaannya, mengapa di tengah gencarnya transformasi digital, BPJAMSOSTEK malah melakukan kebijakan terkait dengan NSBP, sementara pelayanan konvensional (offline) sudah mulai ditinggalkan?
Untuk beberapa daerah yang akses jaringan digital masih terkendala, pelayanan konvensional harus tetap dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Contohnya, di beberapa wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) masih dibutuhkan layanan berbasis ruang.
Perubahan fasad kantor-kantor cabang BPJAMSOSTEK diperlukan mengingat masih rendahnya brand equity BPJAMSOSTEK. Disadari awareness atau pemahaman masyarakat terhadap perlunya jamsostek masih rendah. Perwujudan gedung di setiap wilayah Indonesia menjadi upaya menyosialisasikan nilai-nilai simbolis dari sebuah institusi yang memberikan manfaat perlindungan sosial bagi pekerja Indonesia.
Meminjam teori George Herbert Mead, dalam Sosiologi Kontemporer, Margaret M. Poloma (2010) tentang interaksionisme simbolik yang menjelaskan perspektif (cara pandang) atau asumsi yang digunakan seseorang untuk melihat objek-objek tertentu, seseorang menangkap simbol menjadi persepsi yang diturunkan menjadi perilaku dan sikap. Inilah yang diharapkan, yaitu perubahan perilaku manusia. Dengan melihat simbol yang dihadirkan BPJAMSOSTEK melalui gedung-gedung khas dan berbeda, orang akan membentuk persepsi dan menggugah rasa ingin tahu, kemudian mencoba mendapatkan manfaat yang diberikan.
Menurut Mead, ada empat hal yang mendorong manusia dalam melakukan tindakan sosial, yakni impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumsi. Berkaitan dengan mind, self, dan society. Mind dapat diartikan memberikan respons pada objek agar dapat menyelesaikan masalah. Ketika ada masalah, manusia tidak lepas tangan, tetapi tetap memikirkannya, yaitu respons yang diberikan manusia dan menjadi pembeda manusia dengan hewan dan tumbuhan. Self adalah menerima pandangan diri terhadap orang lain.
Dari tahap perkembangan manusia, yaitu game stage (tahap bermain dan meniru). Game stage tahap mulai menerapkan, generalized other tahap mulai menerapkan dan mengetahui keberadaannya dalam masyarakat. Society, menurut Mead, adalah individu yang terlibat dalam masyarakat. Dari stimulasi simbol ini, diharapkan akan terjadi pertukaran di dalam komunitas sehingga sosialisasi tentang pentingnya perlindungan sosial akan menular ke dalam lingkungan masyarakat.
Brand Equity, Trust, dan Loyalty
Brand equity adalah sesuatu yang membuat brand jauh lebih unggul. BPJAMSOSTEK adalah badan publik yang memang harus dipahami dan dimengerti manfaatnya bagi seluruh masyarakat. Amanat UUD 1945 ini harus sampai kepada target perlindungannya. Dengan memiliki brand equity yang bagus, niscaya tujuan universal coverage atau perlindungan semesta tercapai.
Apakah hal-hal semacam itu berhasil dilakukan dengan NSBP? Berdasar survei mandiri, peserta merasakan perubahan yang dilakukan sejak 2022 tersebut. Tinggal bagaimana badan publik ini meningkatkan pengalaman peserta untuk ditularkan kepada yang lain. Ini menjadi pekerjaan rumah kita semua, bagaimana sosialisasi dan publikasi yang masif dilaksanakan.
Konsep ini bagus, tetapi tetap perlu monitoring dan evaluasi secara berkala, harus lebih ketat sehingga memberikan efek yang lebih kuat dan mampu menjadi paradigma baru pelayanan. People atau sumber daya manusia, process atau sistem pelayanan, serta physical evidence (fasad dan ruang pelayanan) menjadi satu kesatuan holistik yang implementasinya dilaksanakan secara sinergis.
Idealnya, perubahan ini perlu masukan dari stakeholder, yaitu pemerintah sebagai regulator, lembaga masyarakat atau komunitas sebagai target kepesertaan yang mendapatkan perlindungan, dunia usaha di mana karyawannya diberi perlindungan yang dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing, akademisi sebagai pemberi masukan dan ide-ide baru, serta media sebagai pembawa dan penyebar pesan kepada masyarakat.
Kalau tidak, ini hanya akan berdampak secara artificial, tidak menyentuh filosofi pelayanan. Orang hanya akan bilang bagus, dan selesai. Konsep ini harus menyentuh dan memberikan edukasi terhadap masyarakat sehingga brand BPJAMSOSTEK akan merekat dalam hati masyarakat/pekerja serta meningkatkan kepercayaan dan loyalitas pekerja. (*)
*) M. ZUHRI BAHRI, Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan