JawaPos.com – Pemerintah bersama DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR RI 14 Februari 2023 telah menyetujui RUU Kesehatan dengan pendekatan metode Omnibus Law dengan memuat 20 BAB mencakup 478 pasal.
“Mencermati sejumlah pasal dalam RUU Kesehatan terkait erat dengan dunia usaha dan kesejahteraan pekerja, APINDO mencoba memberikan sumbangan pemikiran yang diharapkan bisa menjadi masukan yang positif dalam pembahasan di parlemen,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian APINDO, Hariyadi B Sukamdani dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (2/3).
Menurutnya, APINDO senantiasa mendukung upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, termasuk pekerja di dalamnya. Reformasi pelayanan kesehatan melalui Jaminan Sosial, khususnya bagi pekerja sebagai peserta BPJS Kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan dengan kendali mutu di satu sisi dan kendali biaya di sisi lainnya. Pada akhirnya, diharapkan agar persoalan kesehatan pekerja tertangani dengan baik dengan beban biaya yang tidak memberatkan. RUU yang disusun dengan metode Omnibus Law yang terkait berbagai Undang Undang diharapkan dapat memenuhi tujuan tersebut.
“APINDO secara khusus mencermati substansi RUU Kesehatan terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur pelayanan kesehatan pekerja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pasal 423 RUU menyebutkan bahwa RUU Kesehatan mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan beberapa pengaturan baru yang diatur dalam UU SJSN Nomor 40/2004, dan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Nomor 24/2011 yang dijabarkan dalam pasal 424 dan 425,” ungkap Hariyadi.
APINDO mengkhawatirkan pelayanan kesehatan bagi pekerja sebagai peserta BPJS Kesehatan terancam kualitas pelayanannya akibat sejumlah pengaturan dalam RUU. Hal tersebut mengingat BPJS Kesehatan akan diwajibkan untuk menerima kerjasama yang diajukan Fasilitas Kesehatan (Faskes) yang telah memenuhi perizinan sesuai undang-undang yang berlaku.
Hal ini bertentangan dengan prinsip sukarela kerjasama BPJS Kesehatan dengan Faskes (pasal 23 UU SJSN) sehingga membatasi BPJS untuk melakukan seleksi atas Faskes yang memenuhi syarat pelayanan. Akibatnya potensi terjadi Faskes tidak dapat memberikan pelayanan dengan kualitas yang baik bagi peserta karena terjebak dalam birokrasi pemerintahan.
“Dunia usaha juga melihat biaya penyelenggaraan BPJS Kesehatan berpotensi meningkat yang dapat berujung pada kenaikan iuran peserta yang akan membebani pekerja dan pemberi kerja. Hal ini disebabkan tugas BPJS Kesehatan yang pada dasarnya untuk pelayanan yang bersifat promotif, kuratif dan rehabilitatif harus juga melaksanakan penugasan-penugasan lainnya dari Kementerian yang membidangi Kesehatan, sementara dalam UU BPJS (pasal 13 UU BPJS) tidak terdapat pengaturan tersebut,” ujar Hariyadi.
Penugasan dari Kementrian yang bukan merupakan tugas BPJS Kesehatan potensial membebani Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS. DJS yang merupakan milik peserta dapat tergerus untuk melaksanakan tugas tugas Kementerian yang semestinya dibiayai dari sumber APBN. Akibatnya, peserta yang harus menanggung biaya tugas tersebut melalui iuran yang dibayarkannya. Hal ini bertentangan dengan salah satu dari 9 prinsip SJSN dalam mengelola dana amanat yaitu bahwa DJS yang merupakan dana yang terkumpul dari iuran peserta dan merupakan dana titipan kepada BPJS yang perlu dikelola dan harus digunakan untuk sebesar besarnya kepentingan peserta.
Hal lain yang akan potensial membebani DJS antaranya terkait pelayanan kesehatan rawat inap tanpa batas yang memberikan beban berlebihan terhadap DJS. Pelayanan Kesehatan rawat inap seyogyanya berpatokan pada penanganan yang wajar terkait indikasi medis dan standar pelayanan medis pra dan paska rawat jalan. Disamping itu cakupan pelayanan yang diperluas untuk penanganan medis peserta korban kekerasan dan kecelakaan tunggal juga akan membebani DJS, yang semestinya diatasi oleh program dari institusi lain dengan sumber APBN.
Tata Kelola BPJS yang diubah dalam RUU Kesehatan mengancam kemandirian BPJS yang dapat berujung pada tidak efektifnya kerja BPJS Kesehatan. Perubahan-perubahan lainnya dalam tata kelola BPJS menjadikan BPJS tidak mandiri, yang tercermin pada pertanggungjawaban BPJS yang semula langsung ke Presiden, diubah menjadi melalui Menteri Kesehatan.
Sebagai Badan Hukum Publik (BHP) yang mengelola dana masyarakat (meskipun ada juga sebagian dana yang bersumber dari pemerintah melalui PBI-Penerima Bantuan Iuran) posisi kelembagaan saat ini sudah tepat dimana BPJS bertanggungjawab langsung ke Presiden, tidak melalui Kementerian.
Pertanggungjawaban melalui Menteri Kesehatan menempatkan BPJS sebagai subordinasi Kementerian yang memperpanjang birokrasi sehingga tidak efektif dan efisien. Hal tersebut secara mendasar bertentangan dengan spirit UU SJSN agar ada kemandirian BPJS, tidak seperti masa ketika masih sebagai BUMN (ASKES) yang berada di bawah kendali Kementerian. Lebih lanjut sesuai Instruksi Presiden No. 1 tahun 2022, bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BPJS tidak saja berhubungan dengan Kementerian Kesehatan, namun akan juga berhubungan dengan Kementerian dan Lembaga lainnya.
Terkait berkurangnya keterlibatan masyarakat dalam bentuk keterwakilan unsur, kata Hariyadi, juga akan menjadikan BPJS kurang independen. Hal ini terlihat pada Panitia Seleksi Dewan Pengawas dan Direksi BPJS yang diusulkan oleh Menteri Kesehatan ke Presiden, tidak lagi oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional).
Menurutnya, pengaturan berdasarkan UU SJSN yang ada saat ini tidak perlu diubah karena sudah tepat dimana pembentukan Panitia Seleksi diusulkan oleh DJSN sebagai Lembaga Non Struktural (LNS) yang keanggotaannya dari unsur tripartit plus (Pemberi Kerja, Pekerja, Pemerintah dan Tokoh Masyarakat/Ahli sebagai representasi masyarakat umum) sehingga lebih menjamin independensi dibandingkan jika diusulkan oleh Kementerian.
Lebih lanjut, ketentuan yang mengatur bahwa BPJS tidak bisa menghentikan kepesertaan tanpa kekuatan hukum yang bersifat tetap dan atas permintaan peserta juga akan menyebabkan ketidakpastian. Relasi kerja antara pemberi kerja dengan pekerja bisa diakhiri berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak tanpa harus berdasarkan kekuatan hukum yang bersifat tetap, berdasarkan sejumlah prasyarat yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Berdasar pertimbangan pertimbangan tersebut, tambah Hariyadi, APINDO mengharapkan agar klaster Jaminan Sosial dikeluarkan dari RUU agar lebih dapat menjamin pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada pekerja/peserta dan tidak menyebabkan beban biaya tambahan bagi pekerja dan pemberi kerja.
“Penyusunan RUU Kesehatan melalui metode Omnibus Law (OL) diharapkan fokus pada rumpun bidang yang merupakan lingkup kewenangan Kementerian Kesehatan untuk reformasi kesehatan dan tidak menerabas lingkup bidang lainnya. Jika dimaksudkan untuk perbaikan kebijakan terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui Omnibus Law, sebaiknya dilakukan khusus Omnibus Law Jaminan Sosial,” pungkas Hariyadi.