JawaPos.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menolak penerapan Electronic Road Pricing (ERP) yang diwacanakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. LBH menilai kebijakan tersebut akan membuat kesenjangan sosial semakin tinggi. Pasalnya, ERP hanya dinikmati oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Pengacara Publik LBH Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi mengatakan, ERP bukan solusi mengatasi kemacetan, melainkan menjadi masalah baru dan menjauhkan Jakarta sebagai kota yang inklusif. Yaitu kota di mana semua masyarakat mampu hidup bersama-sama dengan aman dan nyaman, serta mempunyai kesempatan yang sama.
Menurut Jihan, jika ERP diterapkan di 25 ruas jalan di ibu kota, akan ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan masyarakat dalam bermobilitas. Biaya yang dikeluarkan pun cukup tinggi, karena tarif ERP direncanakan berada pada kisaran Rp 5-19 ribu setiap kali melintas.
“Masyarakat kita belum sepenuhnya pulih sebagai dampak dari pandemi. Banyak warga yang ekonominya belum stabil atau bahkan belum mendapatkan pekerjaan setelah dirumahkan saat pandemi lalu. Karena itulah, saya rasa kebijakan ini sangat tidak tepat untuk diterapkan dalam waktu dekat,” kata Jihan kepada wartawan, Kamis (2/3).
Jihan mengkritisi mengenai rencana kebijakan ERP yang tidak melibatkan masyarakat secara luas. Seperti pembentukan Peraturan Daerah (Perda) mengenai penerapan ERP yang terkesan dibuat dalam keadaan terburu-buru.
Padahal dalam Pasal 96 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan telah mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan atau tertulis dalam pembentukan Perda tersebut.
“Seharusnya masyarakat diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan dilibatkan terkait kebijakan ERP karena menyangkut kepentingan umum. Bahkan ini juga jadi tanda tanya apakah ERP menjawab kebutuhan masyarakat dan apakah bisa menyelesaikan persoalan kemacetan di Jakarta,” jelasnya.
Pemprov DKI Jakarta, lanjut Jihan, seharusnya memprioritaskan aksesibilitas transportasi publik dibanding memaksakan penerapan ERP. Masalahnya, ketersediaan dan keterjangkauan transportasi publik untuk daerah sub-urban, yang menjadi tempat tinggal mayoritas kelas menengah ke bawah masih kurang. Sehingga banyak warga yang menggantungkan pada transportasi pribadi.
“Aksesibilitas transportasi publik kita belum memadai. Orang-orang Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (BoDeTaBek) yang bekerja di Jakarta tentu lebih banyak menggunakan KRL, di samping MRT, LRT, atau Trans Jakarta. Tapi semuanya belum cukup menampung. Bahkan penumpukan penumpang kereta di Stasiun Manggarai beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa angkutan publik belum bisa sepenuhnya melayani masyarakat,” ungkapnya.
Untuk diketahui, rencana penerapan ERP masih terus menuai pro-kontra. Tak hanya di sisi warga, fraksi-fraksi di DPRD pun masih melakukan pembahasan. Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta sebelumnya bahkan sudah menyatakan penolakannya.
Hal itu disampaikan anggota Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Ismail setelah didesak massa aksi yang mengatasnamakan Perkumpulan Rakyat Pengguna Dunia Transportasi (Predator) untuk menegaskan sikap fraksi terhadap aturan yang masih dalam tahap pembahasan di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) itu.
“Menyambung pernyataan sikap fraksi PKS DPRD DKI Jakarta yang telah disampaikan beberapa hari lalu, bahwa fraksi PKS DPRD DKI Jakarta dengan tegas menolak (ERP),” ujar Ismail di hadapan massa aksi, Rabu (25/1).
Pernyataan sikap itu sontak membuat massa aksi bersorak kegirangan. Ismail kemudian meminta dukungan kepada warga agar dapat memperjuangkan sikap penolakan tersebut di kursi parlemen.