JawaPos.com – Noe, salah seorang pedagang atau tenant di Pasar Tunjungan, harus menelan pil pahit kenyataan. Sejak 2019, dia bersama 11 tenant lain berjuang sendiri agar nadi Pasar Tunjungan berdenyut.
Ditemui di Pasar Tunjungan, Noe mengungkapkan ada 12 tenant di pasar. Semua dilakukan secara swadaya atau mandiri oleh para pemilik tenant.
“Mulai membersihkan lantai area pasar, aliran air kotor, hingga persampahan dilakukan sendiri oleh kami. Setiap malam sebelum closing, kami buang sendiri sampah ke belakang,” tutur Noe.
Bahkan, lanjut Noe, neon box yang menampilkan nama Pasar Tunjungan bukan dari aliran dana Pemkot Surabaya atau melalui PD Pasar Surya (PDPS). Selain itu, dia menyebutkan, para tenant juga ada yang kesulitan untuk menaikkan daya listrik.
“Tenant kami kebanyakan menjual makanan dan minuman. Otomatis, kami butuh daya listrik lebih tinggi. Mau menaikkan daya nggak bisa sembarangan, karena kami harus mencari kartu pemilik listrik yang dulu,” katanya.
“Ya kalau pemilik pertama stand ini masih ada? Kalau tidak, ya bagaimana lagi. Kami bertahan dengan listrik yang ada,” tambah Noe.
Setiap tahun, Noe dan belasan tenant Pasar Tunjungan Surabaya lain rutin membayar sewa ke PDPS. Besarannya lebih kurang Rp 37 juta. Per meter Rp 90 ribu.
“Kami padahal rutin bayar kok tidak mendapatkan haknya sebagai pedagang. Minimal petugas kebersihan, nah ini nggak ada,” ucap Noe.
Noe berharap agar Pemkot Surabaya bersama PDPS memberikan ruang kepercayaan kepada para tenan dan memperhatikan kondisi pasar yang lebih serius. Sebab, yang menggairahkan geliat Pasar Tunjungan Surabaya adalah mayoritas anak-anak muda.
“Contohlah seperti Jakarta ada M-Bloc Space. Itu M-Bloc Space tidak mengubah bentuk bangunan aslinya. Pasar Tunjungan ini ikon, termasuk bagian dari kawasan cagar budaya. Tidak jauh dari kami, eh kok ada minimarket swalayan. Itu bukan UMKM lagi,” jelas Noe.