JawaPos.com – Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa menilai, penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak yang dilakukan penyidik Polri atas kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat Ditjen Pajak, Mario Dandy kepada Cristalino David Ozora, sudah tepat.
“Penggunaannya tepat karena parameternya adalah korbannya anak, bukam pelakunya anak,” kata Eva, Selasa (28/2).
Dalam kasus ini, polisi menjerat Mario dengan Pasal 76c juncto Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak subsider Pasal 351 ayat 2 tentang penganiayaan berat.
Dijelaskannya, penggunaan pasal perlindungan anak itu karena korbannya anak. Sekalipun pelakunya anak dan korbannya anak tetap UU Perlindungan Anak. Pelakunya dewasa korbannya anak dipakai UU Perlindungan Anak.
“Kecuali pelakunya anak korbannya dewasa, maka dipakai KUHP, hanya hukuman terhadap pelaku, hukumannya dikurangi setengah, berdasar UU 11 tahun 2011 tentang sistem peradilan pidana anak,” papar Eva.
Dalam kasus yang korbannya anak, kata Eva, penerapan pasalnya adalah korbannya, bukan pelakunya. Jika korbannya anak maka diterapkan UU Perlindungan Anak.
Kategori penganiaan berat yang diterapkan salah satunya jika ada luka korban, yang dikhawatirkan tidak bisa sembuh. Dalam kasus penganiayaan oleh Mario, hingga kini David masih di dalam perawatan dan belum sadarkan diri.
Mengenai kemungkinan jika nyawa David tidak tertolong maka Mario bisa dijerat dengan pembunuhan berencana?. Menurut Eva, dalam kasus kekerasan maupun pembunuhan, maka harus dilihat adalah niatnya.
“Niatnya mau menganiaya atau mau membunuh,” jelas Eva.
Jika niatnya membunuh, tapi korban tidak meninggal dunia maka masuk pada jeratan pasal percobaan pembunuhan. Kalau niatnya hanya menganiaya tapi korbannya tewas maka dijerat dengan pasal penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal.
“Jadi pembuktian niatnya seperti apa di awal. Mau membunuh atau menganiaya,” ungkap Eva.