JawaPos.com – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menentang rencana Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat yang meminta aga Siswa SMA-SMK masuk sekolah pukul 05.00 WITA. P2G menilai kebijakan tersebut tidak melalui kajian akademis terlebih dulu.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim mempertanyakan, dasar kebijakan masuk sekolah jam 05.00. Publik harus mendapat penjelasan konkret atas hal itu.
“Seharusnya ada kajian secara filosofis, sosiologis, pedagogis, termasuk geografis mengingat banyak sekolah di NTT yang jarak antara rumah siswa/guru dengan sekolah sangat jauh, bahkan ada yang lebih 5 km. Dan berjalan kaki menuju sekolah,” kata Satriwan dalam keterengan resmi yang diterima JawaPos.com, Selasa (28/2).
Menurut Satriwan, kebijakan ini tidak berkorelasi dengan capaian kualitas pendidikan di NTT. Masalah pendidikan di NTT ini sangat banyak, di antarnya NTT menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi sebesar 37,8 persen berdasarkan data Kemenkes tahun 2021; IPM NTT 65,28 peringkat ke-32 dari 34 provinsi berdasarkanndat BPS, 2021; masih banyak kelas-kelas di sekolah dalam kondisi rusak 47.832 kelas (NPD Kemdikbudristek 2021); 66 persen SD belum dan berakreditasi C, 61 persen SMP belum dan berakreditasi C, 56 persen SMK belum dan berakreditasi C; ribuan guru honorer di NTT diberi upah jauh di bawah UMK/UMP berkisar antara Rp 200-750 ribu perbulan.
Kondisi di atas menunjukan bahwa tidak ada korelasi antara masuk sekolah pukul 05.00 dengan upaya peningkatan IPM, menurunkan stunting, memperbaiki bangunan ruang kelas/sekolah, memperbaiki akreditasi atau kualitas sekolah, dan meningkatkan kesejahteraan guru honorer.
“Mestinya kebijakan pendidikan pemprov fokus saja pada masalah yang esensial dan pokok di atas. Bisa dikatakan Pemprov NTT menggaruk yang tidak gatal,” imbuh Satriwan.
Masuk sekolah pukul 5 pagi dianggap akan menjadi kebijakan masuk sekolah terpagi di dunia. “Kebijakan yang akan ditertawakan oleh komunitas pendidikan internasional nantinya,” jelasnya.
Kebijakan tersebut sangat tidak ramah anak, orang tua, dan guru. Secara logika, masuk pukul 5 pagi, maka akan memaksa anak atau guru minimal bangun pukul 04.00, bahkan bisa saja pukul 03.00 jika jarak antara sekolah dan rumah jauh. Belum lagi masih banyak siswa yang berjalan kaki menuju sekolah yang jauh.
Guru-guru pun tidak mungkin datang pukul 05.00, melainkan hqrus lebih awal. Belum lagi bagi wilayah yang minim sarana transportasi umum atau akses jalan yang sulit, termasuk minim penerangan lampu jalan.
“Artinya, pemprov tidak mempertimbangkan kebijakan tersebut dengan landasan kajian secara geografis dan transportasi publik,” pungkasnya.
Atas dasar itu, Satriwan merekomendasikan beberapa hal kepada Pemprov NTT. Pertama mendesak Pemprov NTT menghentikan kebijakan tersebut, karena tidak ramah terhadap siswa, orang tua, dan guru. Kedua meminta Menteri Dalam Negeri mengevaluasi dan menegur Pemprov NTT serta meminta Mendikbudristek berkoordinasi, berkomunikasi dengan pemprov untuk mengkaji ulang kebijakan pendidikan tersebut.