JawaPos.com – Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan masih diwarnai kritik. Metode omnibus law yang digunakan dalam RUU itu dinilai tidak tepat. Sebab, dikhawatirkan ada pembahasan pasal yang terlewat. Maklum, ada sembilan undang-undang (UU) yang dijadikan satu.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyebutkan, RUU Kesehatan memfasilitasi munculnya korupsi kebijakan. Alasannya, tiap-tiap organisasi atau lembaga yang menangani kesehatan memiliki UU sendiri. Misalnya UU terkait BPJS Kesehatan atau terkait organisasi profesi seperti dokter. ”Apa sih tujuannya diubah seperti ini?” kata Agus bernada tanya. Dia mempertanyakan munculnya RUU Kesehatan yang nantinya memengaruhi beberapa UU terkait kesehatan.
Dalam RUU Kesehatan, salah satu pasalnya menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan nantinya bertanggung jawab ke presiden melalui menteri kesehatan. Pada UU yang sudah ada, BPJS Kesehatan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Menurut Agus, sebagai lembaga tinggi negara, (kepala) BPJS Kesehatan setara dengan menteri. Seperti halnya kepala BPOM. ”Kalau di RUU ini kewenangannya akan pindah ke menteri, dasarnya apa?” ungkapnya.
”Saran saya, karena inisiatif DPR, maka harus panggil dulu pemerintah sebelum membuat DIM (daftar inventarisasi masalah, Red),” lanjutnya. Lembaga dan organisasi terkait pun harus dilibatkan dalam pembuatan DIM.
Agus juga mengkritik pemerintah yang gemar membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) karena merasa UU yang sudah disahkan ada yang terlewat. Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengungkapkan, pada era Presiden Joko Widodo, pemerintah lebih senang menggunakan metode omnibus law. Padahal, metode tersebut memiliki kerawanan karena banyak UU dijadikan satu dan dibahas. ”Metode omnibus law ini menyembunyikan yang sebenarnya penting karena perubahannya cepat sekali,” ungkapnya.