JawaPos.com – Berbeda dari umumnya pemimpin Barat dan tetangga-tetangganya di Eropa Timur termasuk Ukraina, Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas berulang kali mengingatkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin berbahaya. Itu jauh sebelum Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari tahun lalu.
Kallas paling getol mendesak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) agar memperkuat sayap timur aliansi militer. Dia juga meminta Barat menghentikan jaringan pipa gas Nord Stream 2.
Waktu itu tak ada yang menggubris dia. Fakta Estonia negara kecil dengan penduduk hanya 1,3 juta jiwa membuat Amerika Serikat dan kawan-kawan merasa tak perlu mendengarkan ocehan Kallas.
Padahal, saat itu Rusia sudah menggelar ratusan ribu tentara di perbatasan Belarus-Ukraina. Bahkan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meyakini Putin cuma menggertak, tak akan berani menyerang Ukraina.
Kallas tak berhenti bersuara. Setelah invasi 24 Februari 2022, dia kembali lantang berseru. Kali ini dia didengarkan baik-baik oleh NATO dan Barat. Semua orang kini mengakui penaksiran Kallas soal Putin benar adanya.
Perempuan berusia 46 tahun itu menjadi dikenal di mana-mana, sampai disebut-sebut calon pengganti Jen Stoltenberg sebagai sekretaris jenderal NATO. Kallas mengenal baik Rusia dan karakter politisi-politisi Rusia, termasuk Putin. Hal ini karena dia dilahirkan dari seorang ibu yang dideportasi ke Siberia sejak masih bayi bersama nenek Kallas, ketika Uni Soviet diperintah Josef Stalin.
Stalin yang memerintah Uni Soviet dengan tangan besi sejak akhir 1920-an, melancarkan Great Purge atau Pembersihan Besar-Besaran pada Januari 1934. Program ini termasuk eksekusi besar-besaran para penentang Stalin dan pengusiran jutaan warga minoritas ke wilayah-wilayah yang jauh dari tempat asalnya.
Tujuannya, untuk mengonsolidasikan kekuasaan Stalin, bukan saja dari faksi berbeda dalam elite Uni Soviet, namun juga dari faksi antikomunis dan pro monarki, selain untuk membungkam suara minoritas yang menginginkan lepas dari Soviet, mulai wilayah-wilayah seperti Ukraina sampai wilayah Timur Jauh. Kelompok manusia pertama yang dideportasi adalah 16.000 warga etnis Finlandia ke Leningrad.
Setahun kemudian, 35 ribu warga etnis Polandia dan 20 ribu petani Finlandia dideportasi ke Kazakhstan di Asia Tengah. Lalu, ratusan ribu warga etnis Korea ke Kazakhstan dan Uzbekistan setelah dituding sebagai mata-mata Jepang.
Setelah Uni Soviet menginvasi Polandia pada 1939, ratusan ribu warga Polandia, Ukraina dan Belarus dideportasi ke Siberia, Asia Tengah, dan Timur Jauh. Kemudian, setelah menduduki negara-negara Baltik pada 1941, Stalin mendeportasi warga Estonia, Latvia, Lithuania, serta Polandia, Finlandia, dan Jerman ke Siberia dan Timur Jauh, termasuk kakek nenek dan ibunda Kaja Kallas.
Dari tahun ke tahun, warga minoritas yang dianggap ancaman oleh Stalin, diusir ke tempat yang jauh sekali dari tempat tinggal mereka. Yang di Eropa pindah ke Asia dan Siberia. Sebaliknya, yang di Asia dideportasi ke Eropa. Hal ini terus terjadi sampai Stalin meninggal dunia pada 1953.
Politikus Eropa
Kristi, ibunda Kaja Kallas, masih berumur enam bulan kala bersama ibu dan neneknya diangkut bersama ribuan orang ke Siberia karena berasal dari keluarga elite Estonia yang berpotensi menentang Soviet. Kakek buyut Kallas, Eduard Alver, adalah salah seorang pendiri Republik Estonia pada 1918 dan orang pertama yang mengepalai kepolisian Estonia pada 1918.
Kristi menjalani masa deportasi selama sepuluh tahun. Pada 1977, dia melahirkan Kaja Kallas yang kelak menjadi orang penting di Estonia seperti ayah dan kakeknya. Ayahnya aktif memperjuangkan kemerdekaan Estonia dari Soviet.
Kallas ingat sekali ketika tank-tank Soviet dikirimkan ke Estonia pada 20 Agustus 1991 setelah negeri ini menyatakan lepas dan merdeka dari Soviet. Saat itu umur Kallas masih 14 tahun. “Saya sempat khawatir sekali tak bisa melihat lagi ayah saya,” kenang Kallas kepada mingguan terkemuka Jerman, Der Spiegel.
“Saya tahu semua cerita orang-orang mengenai apa yang dilakukan Rusia kepada yang berani menentang mereka,” sambung Kallas.
Itu pula yang membuat Kallas getol mewanti-wanti NATO agar jangan mempercayai omongan Rusia, 31 tahun kemudian. Dia berkisah, tatkala Perang Dunia II berakhir, seluruh Eropa Barat serempak membangun kembali negerinya.
Hal itu tak terjadi di Eropa Timur, termasuk Estonia. Mereka justru lepas dari kandang singa untuk masuk kandang buaya. Bahkan, semasa Soviet dipimpin Stalin, Estonia dan Eropa Timur serta wilayah-wilayah Rusia, melewati masa buruk penuh dengan deportasi, penindasan, pembunuhan dan perampasan.
Sebelum memasuki dunia politik, Kallas yang jebolan kampus hukum, aktif dalam asosiasi pengacara Estonia sejak 1999. Sebelas tahun kemudian, dia terjun ke dunia politik dengan bergabung bersama Partai Reformasi pada 2010.
Setahun kemudian dia mencalonkan diri sebagai anggota parlemen Estonia. Dia menang dan kemudian mengetuai komisi ekonomi dalam parlemen Estonia. Pada 2014, dia mencalonkan diri sebagai anggota Parlemen Uni Eropa. Di sini pun dia menang. Dia kemudian masuk Komisi Industri, Riset dan Energi dalam Parlemen Eropa.
Di panggung Eropa inilah namanya mulai dikenal luas oleh elite politik Eropa.
Persenjatai Ukraina
Namun, setelah Hanno Pevkur mundur dari ketua Partai Reformasi pada 13 Desember 2017 dan meminta Kallas menjadi penggantinya, perempuan politikus ini pun kembali ke Estonia guna memimpin Partai Reformasi.
Pada 3 Maret 2019, Partai Reformasi memenangkan pemilu Estonia dengan merebut 29 persen suara. Pemerintah koalisi pun terbentuk, dipimpin Juri Ratas sebagai perdana menterinya. Dua tahun kemudian Ratas mundur karena skandal. Pemerintahan koalisi lalu menunjuk Kallas sebagai pengganti Ratas. Maka, jadilah Kallas perdana menteri perempuan pertama Estonia.
Banyak hal yang dia capai selama memimpin Estonia, termasuk menyulap negeri ini sebagai negeri serba digital yang dikenal luas di seantero Eropa.
Ketika pecah krisis Rusia-Ukraina pada 2021, Kallas mengecualikan diri dari keumuman dengan menyatakan dari sudut pandang Rusia, jalur pipa gas alam Nord Stream 2 adalah proyek geopolitik, sehingga harus dihentikan.
Bukan itu saja, dia mendesak Eropa melepaskan diri untuk melepaskan ketergantungan kepada gas Rusia karena menciptakan masalah keamanan yang pelik bagi benua itu. Sebelum Rusia menginvasi Ukraina, mengingat tahu betul siapa Putin, Kallas menyumbangkan sejumlah meriam howitzer ke Ukraina.
Untuk mencegah hal seperti itu tak terjadi, Jerman menunda penjualan howitzer buatannya ke Estonia. Tak kehilangan akal, Kallas memasok Ukraina dengan rudal anti rudal portabel, Javelin, tiga pekan sebelum Rusia menginvasi Ukraina.
Lalu, tak lama setelah Rusia mengakui Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk yang memisahkan diri dari Ukraina, Kallas menuntut Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Begitu Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, dia pula yang mendorong Estonia agar mendesak NATO mengaktifkan Pasal 4 perjanjian NATO bahwa serangan terhadap salah satu anggota NATO adalah serangan terhadap seluruh NATO.
Ketegasan dan keberaniannya membuat popularitas Kallas naik tajam sampai acap diundang berbicara dalam forum-forum elite Eropa, seperti Konferensi Keamanan Muenchen. Dia juga membuka tangan lebar-lebar untuk pengungsi Ukraina yang menghindari perang. Dengan sekutu seperti Kallas, Ukraina tak lagi merasa sendirian menghadapi raksasa yang sedang mengamuk.