KASUS penganiayaan oleh Mario Dandy Satrio (MDS) kepada David Ozora merembet ke instansi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu. Ayah MDS, yakni Rafael Alun Trisambodo (RAT), diketahui menjabat kepala bagian umum Kanwil DJP Jakarta II.
Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah bergerak cepat dengan mencopot jabatan RAT, kasus itu tak serta-merta bisa menguap begitu saja.
Publik memang begitu menyoroti kasus tersebut. Mengingat RAT adalah petugas pajak. Terutama yang menjadi sorotan adalah harta kekayaan yang dimilikinya. Dengan munculnya isu tersebut, kepercayaan publik terhadap DJP menurun. Hal itu akan berisiko pada penurunan tingkat kepatuhan wajib pajak. Bahkan, dalam beberapa hari terakhir, muncul gerakan boikot pajak.
Kabar buruknya, isu tersebut muncul pada saat bulan-bulan pelaporan SPT. Momen ini adalah masa-masa riskan bagi otoritas pajak. Dari sisi penerimaan pajak, saya melihat dampaknya akan minim. Sebab, struktur penerimaan pajak kita didominasi PPh badan dan PPN (yang dipungut oleh penjual). Namun, risiko ada pada kepatuhan formal, yakni pelaporan SPT PPh OP (orang pribadi). Pada tahun 2021, sebanyak 17,3 juta wajib pajak orang pribadi terdaftar wajib SPT dengan rasio kepatuhan WP karyawan sebesar 98,7 persen dan nonkaryawan hanya 45,53 persen.
Lebih lanjut, seharusnya pada masa-masa seperti ini DJP gencar melakukan sosialisasi lapor SPT. Namun, lantaran ada isu ini, agenda sosialisasi tersebut menjadi terganggu.
Apakah dampak kasus ini akan long term? Hal itu akan bergantung pada bagaimana cara pemerintah bertindak dan mengambil keputusan. Kalau pemerintah dapat segera memulihkan kepercayaan publik, saya kira dampaknya tidak akan sampai jangka panjang.
Untuk membereskan kasus ini hingga ke akar-akarnya, tentu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Kemenkeu. Menurut saya, yang paling utama saat ini adalah memulihkan kepercayaan publik. Kemenkeu harus bisa memastikan bahwa dugaan penyelewengan oleh RAT ditangani secara transparan dan sesuai hukum yang berlaku. Jangan sampai berlanjut-lanjut.
Kemenkeu juga perlu meyakinkan publik bahwa ada perbaikan secara substansi setelah munculnya isu petugas pajak RAT seperti perbaikan pengawasan internal. Kemenkeu juga perlu bekerja sama dan bersinergi dengan lembaga lainnya seperti PPATK dan KPK untuk menuntaskan kasus tersebut. Selain itu, Kemenkeu perlu memastikan bahwa program kerja yang dimiliki seperti Whistleblowing System/WISE yang telah dibangun benar-benar berjalan pada tahapan implementasi.
Terakhir, perlu perbaikan yang signifikan pada aspek regulasi dan administrasi yang menyebabkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak. Sebab, seperti diketahui, ketidakpastian hukum itulah yang bisa menjadi celah untuk peluang munculnya praktik-praktik penyelewengan kewenangan.
—
*) FAJRY AKBAR, Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)
**) Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Dinda Juwita