JawaPos.com – Pemerhati politik Yulius Setiarto menilai, posisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai satu-satunya partai politik yang memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (wapres) akan selalu menjadi sorotan parpol lainnya.
Terutama terkait penentuan koalisi untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, PDIP berhasil meraup 27,05 juta suara sah nasional pada Pemilu 2019 dengan porsi mencapai 19,33 persen dari total suara sah nasional, sehingga menjadi partai dengan perolehan suara terbesar pada pemilihan umum (Pemilu) 2019.
Oleh karena itu, lanjuty Yulius, wajar jika masyarakat dan elit politik menantikan perayaan HUT ke-50 PDI-Perjuangan, pada 10 Januari 2023, sebagai momentum untuk mengumumkan calon presiden yang akan diusung PDIP. Namun, sebaliknya momen tersebut dimanfaatkan oleh Ketua Umum PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk konsolidasi internal partai, penguatan ideologi, dan pemantapan garis perjuangan partai.
“Selanjutnya, dengan menelusuri pidato tersebut, sekurang-kurangnya terdapat lima komponen fundamental yang dapat kita petik dari pidato tersebut, maupun sari pati kepemimpinan Megawati Soekarnoputri,” ujar Yulius yang merupakan Advokat itu.
Pertama, sebagai persona sentral di dalam PDIP, kepemimpinan Megawati tidak terlepas dari gagasan Soekarno. Sejatinya gagasan tersebut berintikan dua hal pokok, yakni: pengorganisasian institusi partai yang rapi beralaskan disiplin kader, dan berakar dari pengalaman Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada tahun 1927 di masa kolonial Hindia Belanda.
Kombinasi pengorganisasian partai yang rapi dan disiplin kader, lalu digabungkan dengan suka duka dari masa PNI hingga PNI berfusi dengan sejumlah partai lain dan menggunakan nama Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang kemudian bertransformasi sebagai PDI-Perjuangan, telah menjadi modal luhur dalam gerakan sosial dan demokrasi Indonesia, sehingga Indonesia mampu keluar dari cengkeraman rezim otoriter Orde Baru.
“Maka, dengan kata lain kondisi ini merupakan amanat utama bagi seluruh kader PDI-Perjuangan,” ujarnya.
Kedua, lanjutnya, bertolak dari pidato tersebut, terdapat penegasan jati diri dan garis besar perjuangan PDI-Perjuangan, yaitu sebagai organisasi yang berasal dari akar rumput, dan garis perjuangan yang berintikan organisasi yang mengawal Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebhinekaan Indonesia.
“Jati diri PDI-Perjuangan juga tidak dapat dilepaskan pada konsepsi partai berbasis rakyat kecil atau marhaen yang berakar dari Marhaenisme PNI,” ujarnya.
Dalam gambaran Soekarno, kata Yulius, marhaen adalah nama yang disematkan untuk semua orang yang miskin ataupun orang kecil, juga suatu sebutan untuk petani, nelayan, sopir, pekerja kecil, penjaga warung, dan pegawai berpangkat rendah.
Ketiga, di samping penjabaran jati diri dan garis besar perjuangan partai, penekanan PDIP sebagai organisasi kader merupakan aspek mendasar yang ada di dalam pidato politik tersebut. Bagi Megawati identitas kader yang paripurna adalah proses kaderisasi melalui sistem dan tahapan yang telah diatur secara berjenjang.
“Bermula dari sekolah partai hingga pada tahapan pendidikan kader lanjutan yang bertujuan meningkatkan kemampuan berpolitik dan merasakan serta memahami aspirasi rakyat,” tuturnya.
Keempat, kepemimpinan Megawati menitikberatkan pada dorongan keterwakilan perempuan menjadi lebih optimal. Spirit untuk penguatan kapasitas perempuan bertumpu pada kesetaraan dan kepemimpinan perempuan yang kredibel di dalam pemerintahan maupun sektor-sektor publik lainnya sehingga membawa manfaat yang konkret bagi masyarakat.
“Terakhir, hal yang perlu diberikan atensi khusus terhadap gagasan keutamaan seorang pemimpin yang digarisbawahi oleh Megawati, yakni ketulusan hati dan keuletan untuk berjuang dan bekerja bersama rakyat,” ujarnya.
Yulius menuturkan, Pidato tersebut memberikan penggambaran penting bagi pemimpin Indonesia di masa mendatang bahwa wujud pemimpin haruslah memiliki semangat yang tinggi, kehendak yang kuat, dan perbuatan nyata di tengah rakyat.
“Ketiga sokoguru kepemimpinan tersebut memiliki dua tujuan fundamental agar pemimpin Indonesia cakap mengaktivasi kepentingan rakyat dan nasional, serta memantapkan bangsa dan negara Indonesia supaya berhasil menundukan tantangan yang dihadapi,” jelasnya.
Sebagai kesimpulan, hakikat pidato Megawati Soekarnoputri merupakan penegasan posisi ideologis PDI-Perjuangan yang tidak terlepas dari aspek kesejarahan dan gagasan Soekarno, yang mengikhtiarkan masyarakat adil dan sejahtera sebagai cermin Indonesia merdeka.
“Di samping itu, dalam pidato tersebut tersirat tiga tiang utama kepemimpinan Soekarno. Ketiga tiang utama tersebut adalah prasyarat bagi pemimpin Indonesia di masa mendatang untuk mewujudkan keadilan sosial,” pungkasnya.