JawaPos.com – Analis politik dari Universitas Diponegoro Dr. Teguh Yuwono menyatakan, penerapan sistem proporsional tertutup pada pemilihan umum (pemilu) belum menjamin capaian keterwakilan perempuan sedikitnya 30 persen dari total anggota DPR RI.
“Jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penerapan sistem pemilu proporsional tertutup, secara otomatis metode sainte lague tidak berlaku lagi,” kata Teguh Yuwono menjawab pertanyaan di Semarang, Jawa Tengah, Senin, (27/2).
Sainte lague atau metode nilai rata-rata tertinggi untuk menentukan jumlah kursi DPR RI dalam suatu pemilihan umum, kata Teguh, hanya berlaku pada sistem proporsional terbuka.
Menyinggung soal perempuan yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) bakal berpeluang menjadi anggota DPR asal mendapat nomor-nomor electable (dapat dipilih), Teguh mengatakan bahwa penerapan nomor urut caleg dalam sistem itu merupakan mekanisme partai politik.
“Jadi, sistem proporsional tertutup itu tidak berdampak pada capaian kuota 30 persen di parlemen. Itu bergantung pada partai politik apakah menominasikan perempuan menjadi caleg atau tidak,” ujar alumnus Flinders University Australia itu.
Akan tetapi, lanjut Teguh, parpol terikat dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 245 UU Pemilu menyebutkan bahwa daftar bakal caleg memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen
Menjawab ketidakpatuhan partai politik, misalnya putusan MK mengabulkan permohonan terkait dengan sistem pemilu proporsional tertutup dengan syarat partai peserta pemilu memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen, Teguh memandang perlu ada sanksi terhadap parpol yang tidak mematuhi putusan MK. Misalnya, sanksi tidak bisa dilantik.
Di lain pihak, Teguh mengemukakan bahwa keuntungan sistem pemilihan proporsional tertutup bakal memperkecil transaksi politik dan memperkecil praktik politik uang karena pemilih hanya mencoblos partai politik, bukan mencoblos caleg atau parpol seperti pada sistem pemilihan proporsional terbuka.