JawaPos.com – Banjir telah menjadi fenomena yang selalu berdampingan dengan kehidupan warga bantaran atau kawasan aliran sungai. Warga pun sudah berdamai dengan keadaan ini. Karena itu muncul berbagai kearifan lokal untuk untuk bersiap-siap jika banjir muncul sewaktu-waktu, dikutip dari RADAR SOLO.

Salah satu lokasi rawan banjir di Solo adalah Kelurahan Gandekan. Kelurahan yang berada di pusat Kota bengawan ini berhimpitan sedang sejumlah anak sungai. Baik yang ukurannya kecil hingga besar seperti Kali Rahman, dan drainase sekitar yang bertemu di Kali Buntung.

Ditambah Kali Pepe sebagai anak Sungai Bengawan Solo yang membelah Kelurahan Gandekan dengan Sangkrah. Titik terendahnya memang berada di Kali Buntung. Terutama di RT 02 RW 02 Kampung Karangasem dan Rt 01 TR 04 Kampung Penjalan. Tak heran warga-warga di sekitar sungai inilah yang paling awal terdampak saat Gandekan disapu banjir.

Jawa Pos Radar Solo sempat berkeliling membelah gang-gang sempit di permukiman padat yang mepet dengan aliran Kali Buntung itu. Hunian-hunian warga di sekitar aliran sungai itu merupakan kawasan padat penduduk dengan hunian sangat sederhana. Mayoritas jalan lingkungan di kawasan itu hanya berukuran 1,5 meter di ujung gang masuknya dan makin menyempit menuju ke area dalam. Bahkan untuk hunian yang mepet bibir Kali Buntung itu jalan inspeksinya tak cukup lebar untuk pejalan kaki berpapasan.

“Sejak kecil saya sudah tinggal di sini, tapi masih sewa. Jadi ya sudah terbiasa dengan banjir,” kata Sarwono, warga Kampung Penjalan RT 01 RW 04 Kelurahan Gandekan.

Pengalaman hidup puluhan tahun di kawasan bantaran itu membuat Sarwono dan keluarga hafal dengan ciri khas sungai di belakang tembok rumahnya itu. Aliran Kali Buntung ini berubah ke utara saat hendak banjir. Selain itu ketinggian air juga bertambah signifikan dalam hitungan menit.

“Biasanya kalau mau banjir itu ada kentongan dibunyikan. Ini tanda kalau air mau naik. Kalau sudah seperti itu istri dan anak-anak saya ungsikan lebih dulu. Saya nyusul belakangan untuk mengamankan barang-barang dulu,” beber dia.

Lantaran sudah hafal dengan karakteristik Kali Buntung, warga yang sehari-hari sebagai penjahit ini telah menyiapkan sejumlah perlengkapan tambahan untuk menyimpan barang berharga dari banjir. Dia menyebutnya sebagai anjang-anjang. Yakni, papan dari bambu dan kawat yang dipasang di bawah langit-langit rumah dan digunakan untuk menyimpan kasur, pakaian, dokumen, dan barang berharga lainnya.

“Sebagian saya naikkan ke sini (anjang-anjang, Red), sebagian saya simpang di atas dinding ini (atasnya dipasangi papan untuk menyimpan barang, Red),” kata Sarwono sambil menunjuk salah satu sudut rumahnya kala itu.

Upaya serupa juga dilakukan oleh Sahid, 71. Warga Kampung Karangasem RT 02 RW 02 Gandekan ini juga melengkapi rumahnya dengan anjang-anjang untuk mengamankan barang berharga dari banjir yang kerap menggenangi kawasan itu. Ini salah bentuk kewaspadaan yang muncul sebagai kearifan lokal bagi warga setempat.

“Saya asli kelahiran sini, tapi baru setelah menikah menempati rumah ini (di tepi aliran Kali Buntung). Saat ini sudah mendingan. Seingat saya dulu, banjir itu delapan kali setiap musim penghujan. Tahun ini sudah tiga kali kami kebanjiran sebelum yang terakhir Kamis (16/2/2023) lalu. Yang pertama dan kedua itu waktu uji coba pintu air yang baru, kami kebanjiran juga,” beber dia.

Di rumah sederhana miliknya ini Sahid mengaku meninggikan atap rumahnya dengan dana bantuan rumah tidak layak huni (RTLH) yang didapat tahun lalu. Dengan atap yang tinggi itu pria parobaya ini bisa bersiap-siap saat Kali Buntung hendak meluap.

“Ini sudah saya tambahi cor-coran melintang di dalam rumah, bahian atas kamar mandi juga di cor biar bisa untuk tempat menyimpan barang waktu banjir,” papar dia.

Jaimin Sugiatno, warga Kampung Penjalan RT 01 RW 04 Gandekan ini juga paham risiko tinggal di garis sungai. Sebab itu, dia tak memiliki banyak tuntutan sekalipun banjir selalu jadi fenomena rutin setiap tahun.

“Saya tinggal di Gandekan sudah sejak 1970. Anak-anak saya sudah berkeluarga semua dan juga tinggal di sini. Pertama saya ke sini itu nguruk sendiri, bawa material, pakai becak lalu saya bikin rumah untuk tempat tinggal. Dulu kan sini rawa,” kata Jaimin.

Setelah itu pada awal 1980, sejumlah warga mulai menempati area bantaran Kali Buntung. Awalnya hanya untuk bercocok tanam dan tempat ternak pada musim kemarau. Lama kelamaan, warga mulai bermukim dengan menguruk bantaran sungai itu untuk dibikin pondasi-pondasi hunian warga. Satu dekade kemudian, area itu sudah penuh dengan hunian warga sampai kemudian disahkan sebagai permukiman legal oleh pemkot.

Baca Juga : Gelar Festival Pangan Lokal, Pupuk Kaltim Dorong Pemanfaatan Lahan di Perkotaan
“Dari ujung selatan sampai utara dulu ini bekas sungai, lalu diurung semua sama warga. Bisa dibilang ya dulu masih liar, kalau sekarang sudah resmi ada sertifikatnya,” hemat Jaimin.

Ketua RT 02 RW 02 Gandekan Purwanto membenarkan, warga yang rumahnya mepet Kali Buntung, baik di RT 02 RW 02 maupun di RT 01 RW 04 itu merupakan aliran sungai yang dulu kedalamanya sekitar 3 meter dari ketinggian jalan lingkungan.

Dia juga memastikan seluruh warga yang tinggal di bantaran itu sudah paham dengan konsekuensi banjir. Kondisi ekonomi yang akhirnya memaksa warga untuk bermukim di area rawan banjir itu. Mereka hanya berharap informasi banjir bisa lebih awal disampaikan agar mereka besiap-siap. Usulan ini bukan tanpa alasan karena dua kali banjir pada 2021 dan 2022 terjadi human error.

“Kalau karena faktor alam kami tidak complain. Yang kami harapkan pemerintah menyiapkan petugas pintu air yang benar-benar standby di lokasi. Bukan pekerja yang diperbantukan seperti saat ini. Karena dua kali banjir itu dipicu faktor kelalaian. Pada uji coba pintu air baru petugas tidak memberitahu warga sampai akhirnya banjir,” kata ketua RT yang sudah bermukim di lokasi itu sejak 1972 silam.

Untuk meminimalkan risiko bencana banjir, Kelurahan Gandekan telah mengusulkan normalisasi sungai untuk aliran Kali Buntung sepanjang 500 meter. Sebab, sungai itu sudah lama tidak tersentuh sehingga sedimentasi cukup tebal. Termasuk permasalahan lain seperti wilayah di sekitar aliran sunggai itu merupakan permukiman padat penduduk.

“Survei sudah dilakukan oleh DPUPR Surakarta, namun kapan eksekusinya belum tahu. Kalau untuk huniannya memang mepet-mepet karena permukiman padat. Warga sudah tinggal secara turun-temurun sejak kakek-neneknya dulu. Karena itu selain masalah sungai nanti RTLH juga akan disentuh,” sambung Lurah Gandekan, Sugeng Sarwono.

Pada tahun ini Kelurahan Gandekan mendapat perbaikan 154 hunian warga dari provinsi. Masing-masing rumah akan mendapatkan Rp 20 juta untuk pembelian material dan ongkos tukang. Sasarannya warga di bantaran Kali Buntung.

By admin