Demensia umumnya menyerang usia lanjut. Penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis progresif itu banyak macamnya. Salah satunya frontotemporal dementia (FTD) yang tengah diderita aktor Bruce Willis. Jenis itu mengakibatkan gangguan perilaku, afasia, dan semantik.

SESUAI namanya, frontotemporal dementia berlokasi pada bagian otak depan (frontal) dan otak samping (temporal). Fungsi frontal menyangkut kognitif dan behaviour, sedangkan fungsi bahasa ada pada temporal. Akibatnya, terjadi perubahan perilaku, personalitas, gangguan bicara, hingga kesulitan memahami kata-kata.

”Dia mengerti omongan orang, tapi tidak bisa merespons dengan verbal. Kalau kita tanya namanya siapa, dia tidak bisa jawab. Fungsi ekspresi verbalnya terganggu,” ujar Yudha Haryono dr SpN(K).

Dokter spesialis neurologi RSUD dr Soetomo itu mengatakan, demensia jenis frontotemporal menempati urutan keempat di dunia. Angka kejadiannya sekitar 12–16 persen. Terbanyak, demensia akibat penyakit Alzheimer. Jika Alzheimer menyerang usia 65 tahun ke atas, FTD lebih muda lagi. Yakni, di usia 50–65 tahun.

”Gejala utamanya bukan memorinya, tetapi pada perilaku, afasia, kemudian mulai gangguan semantik. FTD mencakup tiga hal itu,” jelas koordinator pelayanan medik dan keperawatan instalasi Graha Amerta-STOC itu.

Pada Bruce Willis pun setahun sebelum didiagnosis FTD, lebih dulu terkena afasia. Yaitu, gangguan berkomunikasi yang disebabkan kerusakan pada otak. Jika gangguannya hanya afasia, justru harus curiga. Kalau mendadak, bisa jadi itu stroke di area pusat bahasa.

Atau, mengarah pada FTD sebagaimana yang dialami Bruce Willis. Pada FTD, 76 persen terjadi gangguan behaviour, afasia 17 persen, dan semantik 6 persen.

Penyebab utama FTD belum diketahui pasti. Namun, hasil pencitraan dengan menggunakan MRI atau CT scan menunjukkan adanya atrofi otak atau penyusutan ukuran pada lobus frontal dan temporal. Sementara itu, bagian atas, tengah, dan belakang otak baik-baik saja.

Seseorang dikatakan demensia jika gangguan kognitif yang terjadi memengaruhi fungsi sosial dan aktivitas sehari-harinya. Jika belum, itu bisa dicegah agar tidak sampai demensia.

”Kalau kita tahu ada orang yang sering lupa, grogi, mau ngomong tidak bisa, itu harus konsultasi,” imbuhnya. Penanganan utama penderita demensia dilakukan dengan nonfarmaka atau non obat-obatan meliputi pemenuhan nutrisi, vitamin, stimulasi fisik, kognitif, mental, dan keluarga.

Terapi nonfarmaka juga berguna untuk mencegah demensia. ”Makannya harus bergizi. Otaknya juga harus distimulasi. Lingkungan, utamanya keluarga, harus support,” tegas dr Yudha.

BAGAIMANA MENCEGAH DEMENSIA?

• Penuhi kebutuhan nutrisi. Hindari makanan yang berisiko menyebabkan diabetes dan hipertensi serta makanan tinggi kolesterol. Konsumsi kacang kedelai, ikan yang mengandung omega 3, dan sayur.

• Lakukan olahraga ringan yang saling terkait antara otak kanan dan kiri seperti senam otak.

• Latihan kognitif dengan menyebutkan nama-nama binatang atau bunga selama satu menit.

• Bermain mainan anak-anak seperti menyusun balok, menyusun kata, atau permainan warna.

• Latihan mengisi teka-teki silang (TTS).

• Keluarga perlu menciptakan suasana yang mendukung dan penuh kasih sayang.

Sumber: dr Yudha Haryono SpN(K)

By admin