Gerakan baru seni rupa menggelinding di Banyuwangi. Sembilan perupa: N. Kojin, Ilyasin, Troy Herman, Lilok Winandi, Sarwo Prasojo, Fafan Ariyadi, Ellyezer, Ben Hendro, dan satu-satunya pelukis perempuan Susilowati. Mereka tergabung dalam kelompok SATUSAMA.

SAYA melihat gerakan mereka sangat masif. Lebih layak disebut sebuah gebrakan seni rupa. Mereka mendobrak ”kemapanan” iklim seni rupa Indonesia. Selama ini, pameran karya lukis selalu menempati ruang pameran bergengsi. Mulai hotel berbintang, gedung pamer, hingga galeri. Bisa memajang karya di tempat-tempat wah itu menjadi impian para pelukis. Terutama mereka yang belum begitu terkenal. Dengan berpameran (bersama, apalagi tunggal) di tempat-tempat wah itu, konon, nama pelukisnya akan terkatrol. Entahlah….

Kelompok SATUSAMA mematahkan pendapat itu. Sakralitas gedung-gedung mewah sebagai ruang pamer karya lukis mereka tanggalkan. Sebaliknya, mereka memilih menggelar pameran di pinggiran. Di desa dan kelurahan. Yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Pameran di desa sebenarnya bukan hal baru. Beberapa seniman sudah melakukannya. Tapi, umumnya, hanya dilakukan sekali dalam setahun. Atau, bahkan, itu menjadi pameran pertama sekaligus yang terakhir. Tidak ada pameran serupa di tahun-tahun berikutnya.

Beda dengan yang dilakukan kelompok SATUSAMA. Mereka melakukan pameran secara masif. Dalam setahun (2022), mereka menggelar sembilan kali pameran! Dimulai Maret sebagai pameran pertama. Ditutup dengan pameran kesembilan pada 26 Desember 2022–1 Januari 2023 kemarin. Agustus break untuk menghormati bulan kemerdekaan RI.

Sembilan pameran beruntun itu digeber di studio sembilan anggota kelompok SATUSAMA –tepatnya, rumah yang disulap menjadi studio. Pameran pertama di studio Lemah Ceket Muncar (Troy Hermanto). Lalu secara berturut-turut di studio Isyarat Eyang Kakung Jajak (Lilok Winandi), di studio Bengkel Seni Curahjati (Ben Hendro), di studio Omah Walet Siliragung (Sarwo Prasojo), di N. Kojin Art Studio Jelun (N. Kojin), di Joglo Art Studio Yosomulyo (Fafan Ariyadi), di Sendang Art Studio Tegal Arum Sempu (Susilowati), di Ezer Art Studio Barurejo (Ellyezer), dan di Ilyasin Art Studio Taman Suruh (Ilyasin).

Sembilan pameran itu tidak dibuka oleh kolektor top atau pejabat tinggi. Melainkan oleh kepala desa/lurah dan camat. Sesuai lokasinya. Kemasan acaranya pun ala kampung. Menyajikan kearifan lokal. Mulai suguhan hingga hiburan berupa kesenian setempat. Seperti gandrung, musik Banyuwangen, barong, dan jaranan.

Pameran di desa itu sempat membuat warga setempat bingung. Bahkan curiga. ”Apa ini acara pembukaan restoran, kok dipasang terop dan ruangan di dalam rumah terang sekali?” tanya seorang warga Dusun Lemarang, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, yang rumahnya dekat Ilyasin Studio Art milik Ilyasin.

Orang desa memang sangat polos. Ketika pameran pertama kelompok SATUSAMA baru dibuka di studio Lemah Ceket, Muncar, ada lelaki tua lewat depan tempat pameran. Dia baru pulang dari sawah. Sambil memanggul pacul dan kakinya masih basah blethok, dia bertanya ke salah satu panitia: ”Apa saya boleh melihat pameran di dalam?”

Macam-macam komentar disampaikan warga desa –mayoritas pengunjung pameran. Mulai petani, pedagang pasar pagi, belantik sapi, penjual gorengan, pekebun, dll. Mereka umumnya mengaku senang melihat pameran kali pertama di desanya itu. Selama ini, hanya melihat pameran di televisi. ”Koyok ning TV-TV kae yo (Seperti yang di televisi ya),” kata mereka.

Selain warga setempat, pameran selalu dibanjiri siswa SD sampai SMA. Juga santri dari pondok pesantren dan mahasiswa. Bahkan, pameran di studio Bengkel Seni Curahjati mendapat kunjungan tamu spesial. Yakni, suster dan biarawati yang membawa anak-anak panti asuhannya. Mereka kagum dan salut. Pemilihan lokasi pameran di dekat kandang kambing sangat menarik bagi mereka.

Materi karya yang dipamerkan selalu berbeda. Dari pameran pertama sampai kesembilan, lukisan yang dipajang selalu berganti. Sesuai sembilan tema yang disepakati. Yakni, secara berurutan tema pameran pertama sampai terakhir: Bertumbuh Kembang dalam Doa, Mr Kojin, Bersenang-senang, Benda Tak Benda, Lontar Yusuf, Wayang, Titik Temu, Pemandangan, dan Polo Pendem.

Untuk satu tema, setiap pelukis diwajibkan menyiapkan minimal dua karya. Berarti dalam setiap pameran ada 18 karya yang dipajang. Dikalikan sembilan kali pameran, berarti kelompok SATUSAMA dalam setahun menghasilkan 162 lukisan. Luar biasa!

Meski pameran kelas ndeso (sesuai lokasi pamerannya), bukan berarti karya yang dipamerkan tidak berbobot. Justru sebaliknya. Pameran tematik di setiap lokasi membuat sembilan anggota kelompok SATUSAMA ”cerdas”. Mereka harus mampu menerjemahkan setiap tema yang ditetapkan dalam dua karya. Dua karya itu harus sudah siap dalam sebulan –sebelum pameran digelar. Setiap pelukis mengurasi karyanya sendiri sebelum diserahkan ke tuan rumah sebagai panitia pameran.

Soal sembilan kali pameran dalam setahun sempat membuat ”iri” perupa dari luar kota. ”Wah, perupa Banyuwangi sejahtera ya. Bisa menggelar pameran sembilan kali dalam setahun,” kata ketua kelompok SATUSAMA N. Kojin menirukan sindiran koleganya dari Solo sambil nyengir, lalu menambahkan, untuk menggelar sembilan kali pameran, kelompok SATUSAMA sebenarnya berdarah-darah. Setiap tuan rumah harus menanggung semua biaya penyelenggaraan. Beberapa tuan rumah sampai harus menjual motornya. ”Saya menggadaikan dua motor, Ilyasin malah menjual mobilnya,” pungkasnya. (*)

SAMSUDIN ADLAWI, Pemuisi dan penyuka karya seni rupa

By admin