Apakah ada orang yang bisa lari dari masa silamnya. Terus mengubah dengan masa silam lain. Masa silam yang dirasa cocok dengan apa yang diinginkannya? Masa silam yang berpihak pada keuntungan pribadinya. Masa silam, yang kata tukang adon roti, seperti tepung yang diuleni, agar mudah untuk dikukus atau digoreng seperti yang diharapkan. Apakah ada orang yang bisa? Jawabannya tentu saja: ”Tak bisa.”

DAN jika ada yang menjawab sebaliknya: ”Bisa”, ia tak mengerti pada pameo: ”Waktu adalah sesuatu yang mirip motor yang terus melaju tanpa rem.” Motor yang akan terus lurus ke muka tanpa berbalik. Motor yang seperti dikendarai oleh si tokoh utama dalam film Ghost Rider. Si tokoh utama yang katanya telah melakukan perjanjian dengan Iblis. Tapi malah balik melawan. Melawan dengan sengit. Melawan tanpa jeda.

Si tokoh utama yang jika sudah manjing, tubuhnya akan murup dan berubah menjadi tengkorak berapi yang bisa ngomong dan berkelahi. Berkelahi dengan senjata rantai api yang dapat bergerak mirip ular lentur. Memanjang. Memendek. Dan menerkam. Sebelum akhirnya melempar apa yang diterkamnya itu ke udara. Terus jatuh ke tanah. Ringsek. Untuk kemudian diterkam lagi. Dan dilempar lagi. Sampai benar-benar menjadi ringseknya ringsek.

Lalu, yang lebih mencengangkan, dengan mengendarai motornya, si tokoh utama pun ngebut ke atas gedung bertingkat. Ngebut secara tegak lurus melewati dinding luar gedung. Motornya yang berapi menggoreskan bekas yang juga berapi. Jadinya, jika dilihat dari bawah, seperti pertunjukan sirkus dari alam sebelah. Sirkus yang menggetarkan. Sirkus yang akan berakhir dengan rusaknya gedung bertingkat. Padahal, sekian helikopter polisi telah menghadang. Helikopter yang susah mendekat.

Nah, dari masa silam yang tak bisa diubah itulah, cerita ini ditulis. Cerita yang berpusat pada tokoh yang bernama Pak Jarot. Lelaki tua yang berumur 67 tahun, tapi masih terlihat gagah. Lelaki tua yang hidup sendirian. Yang di kampung begitu dikenal. Sebab, selalu mengingatkan pada kalimat: ”Hidup cuma mampir untuk melunasi cicilan.” Kalimat yang sering diucapkannya kepada siapa saja yang ditemui. Kalimat yang entah kenapa selalu membuat setiap yang mendengarnya akan ngakak.

”Pak Jarot dulu adalah jagoan. Jagoan yang ditakuti,” begitu kabar yang kerap terdengar. Dan memang, siapa saja yang ada di kampung mendengar bahwa Pak Jarot dulunya memang jagoan. Yang setiap berjalan di pasar, selalu saja mendapat upeti dari para pedagang. Jadinya, tas kain yang dicangklongkan di pundaknya selalu penuh uang. Baik uang kertas atau logam. Uang baru atau kusam.

Uang (yang tanpa sepengetahuan siapa pun) selalu dibagi-bagikan oleh Pak Jarot pada siapa saja yang membutuhkan. Siapa saja tanpa pandang bulu. Siapa saja yang dalam tatapan Pak Jarot penuh derita dan kesedihan. Yang selalu meruapkan rasa keputusasaan yang mendalam. Yang jika tidak segera dipeluk dan dibantu tentu akan mengarah ke lubang gelap yang dalam. Lubang gelap yang akan menguruknya utuh-utuh tanpa sisa.

Lain itu, sebagai jagoan, Pak Jarot (kabarnya) pun punya ilmu kebal serta ilmu mecah tubuh. Untuk ilmu kebal, ini pernah disaksikan oleh para pedagang dari stan ayam potong di pasar. Yang saat itu, Pak Jarot sedang berkelahi dengan Mat Codet. Jagoan dari kampung lain yang ingin menggusur Pak Jarot. Dalam perkelahian itu, sekian sabetan pedang Mat Codet mendarat di tubuh Pak Jarot.

Tapi apa sabetan itu melukai Pak Jarot? Ternyata tidak. Bahkan, menurut kesaksian beberapa pedagang, setiap sabetan pedang Mat Codet mendarat di tubuh Pak Jarot, akan memercikkan api. Dan percikan api itu ditimpali bunyi: cres, cres, cres. Anehnya, dalam perkelahian itu, Pak Jarot tak melawan sedikit pun. Dibiarkanlah Mat Codet menyabetkan pedangnya sampai berkali-kali. Sampai Mat Codet sendiri kelelahan. Lalu tersungkur.

”Ampun, Kang,” rintih Mat Codet.

Pak Jarot cuma menatap.

”Sekali lagi ampun.”

Pak Jarot tetap cuma menatap. Lalu pergi meninggalkan Mat Codet. Baju dan celana Pak Jarot sudah rawak-rawek sebab terkena sabetan. Tapi langkah Pak Jarot semakin mantap. Semakin gagah. Dan itu menjadikan para pedagang yang tadi menyaksikan perkelahian pun menyibakkan diri. Memberi keleluasaan bagi jalan Pak Jarot.

Selanjutnya, tentang ilmu mecah tubuh yang dimiliki Pak Jarot, ini cerita yang lain. Yaitu cerita yang berkisar tentang tiga pesta yang diadakan oleh tiga pedagang pasar yang rumahnya berjauhan. Oleh tiga pedagang pasar itu, Pak Jarot diundang. Dan karena waktunya bersamaan, tentu saja ini akan sulit bagi Pak Jarot untuk sekaligus mendatangi tiga pesta itu. Pak Jarot mesti memilih salah satunya.

Esok harinya, pasar pun ramai. Sebab banyak pedagang yang mengaku bertemu Pak Jarot. Baik di pesta satu, dua, atau tiga yang waktunya bersamaan itu. Pengakuan itu saling ngotot. Dan saling membenarkan sendiri-sendiri. Sampai kemudian, oleh salah satu pedagang yang cukup punya pengalaman tentang ilmu-ilmu aneh, menilai bahwa Pak Jarot memiliki ilmu mecah tubuh. Ilmu langka yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki laku batin yang ketat.

”Jangan percaya pada kabar,” tukas Pak Jarot jika kini ditanya tentang dua ilmunya itu. Tukasan itu seakan lorong pelarian bagi Pak Jarot untuk tak menjawab dengan jelas. ”Ini zaman internet, zaman internet, Kang. Mosok tetap percaya pada begituan,” tukas Pak Jarot lagi. Sambil mengaduk secangkir kopi. Secangkir kopi yang dipesan oleh seseorang yang duduk di bangku pojok. Seseorang yang pendiam. Seseorang yang bersorot mata teduh seperti menanti sesuatu.

Sekilas, seseorang yang pendiam itu tampak biasa-biasa. Tapi, bagi orang yang waspada, akan diketahui, jika seseorang yang pendiam itu membawa hawa yang berat. Hawa perjalanan yang jauh. Perjalanan yang naik turun gunung. Yang menyeberangi lautan. Dan yang mungkin, sesekali terbang seperti burung elang yang perkasa. Burung elang yang cenderung bepergian sendirian. Tanpa sanak dan saudara.

Pak Jarot (yang kini telah menjadi pelayan warung kopi) pun mengantarkan secangkir kopi yang telah diaduknya. Seseorang yang pendiam itu menerima. Bersamaan penerimaan itu, hawa seseorang yang pendiam itu menyerang Pak Jarot. Pak Jarot terkejut. Sebentar. Dan sambil menggeser kaki kanan ke belakang, Pak Jarot mengembalikan serangan itu. Mengembalikan secara lembut dan rahasia. Dan inilah yang dalam dunia jagoan disebut sebagai ilmu tarian bidadari yang utama. Ilmu yang langka. Ilmu yang diciptakan oleh petapa wanita dari abad lima belas. Ilmu yang kabarnya telah hilang.

”Zleb,” bunyi lirih pun mengambang di langit-langit warung. Satu-dua gelas yang tertata di rak sedikit bergeser. Dan seseorang yang pendiam itu pun terenyak. Terus berkata lirih: ”Makin tua, makin hebat, ya?” sambil meletakkan secangkir kopi yang telah diterimanya. Pak Jarot tersenyum. Seseorang yang pendiam itu kembali berkata lirih: ”Ketemu di tempat biasanya.” Pak Jarot kembali tersenyum. Dan seseorang yang pendiam itu membayar kopinya. Terus berlalu.

Malam. Tepatnya larut malam. Di samping sungai di dalam hutan. Dua orang saling berhadapan, yaitu Pak Jarot dan seseorang yang pendiam itu. Pak Jarot menatap tenang. Seseorang yang pendiam itu menatap tegas. Entah sudah berapa lama keduanya saling berhadapan. Bertatapan. Dan entah berapa kali kelelawar-kelelawar melintas di atasnya. Kelelawar-kelelawar yang berwarna hitam. Kelelawar-kelelawar yang memiliki pendengaran yang begitu peka.

Yang jelas, bagi Pak Jarot dan seseorang yang pendiam itu, gerak jadi demikian lamban. Gerak jadi demikian dekat. Sedekat urat di leher. Dan sepersekian menit ke depan, entah kenapa, seseorang yang pendiam itu pun terjungkal. Darah pun terhambur dari mulut dan hidungnya. Sedang, Pak Jarot tetap tegak seperti tak ada apa-apa. Dan tak terganggu oleh perkelahian dari dalam yang baru saja dijalaninya dengan seseorang yang pendiam yang kini terjungkal itu.

”Kenapa mesti begini?” kata Pak Jarot setelah semuanya kembali normal.

Seseorang yang pendiam yang terjungkal itu cuma merintih.

”Kautahu. Kau adalah orang yang kesembilan puluh satu yang menantangku di tempat ini. Hanya karena satu hal, yaitu ingin mengalahkanku. Dan mengambil gelar kejagoanku yang sebenarnya cuma omong kosong.”

Seseorang yang pendiam yang terjungkal itu kembali merintih.

”Jika kau ingin gelar kejagoanku, ambillah. Aku sudah bosan dengan rebut-merebut seperti ini. Oya, ketahuilah, sekali saja kau menyandang gelar kejagoanku itu, selamanya kau akan menanggungnya. Suka atau tak suka.”

Seseorang yang pendiam yang terjungkal itu kembali merintih. Dan pingsan.

Pak Jarot terdiam. Dihampiri tubuh seseorang yang pendiam yang telah pingsan itu. Diusap wajahnya. Ada rasa penasaran di wajah yang pingsan itu. Dan ada nafsu yang demikian menjulang di dalamnya. Nafsu yang membuat Pak Jarot mesti menghadapinya. Dan itu berurusan dengan gelar kejagoan yang disandang dan ditanggungnya sejak lama. Sejak dulu. Gelar kejagoan, yang ketika muncul saat ini, pun selalu saja muncul sebagai masa silam yang tak bisa diubah. Meski, Pak Jarot telah menjadikan dirinya tak lebih sebagai pelayan warung kopi. (*)

Gresik, 2022

MARDI LUHUNG

Lahir di Gresik. Lulusan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Jember. Tahun 2010 mendapatkan anugerah KLA dalam bidang puisi. Dua buku terbarunya adalah kumpulan cerpen Jembatan Tak Kembali (2022) dan kumpulan puisi Tiga Kuda di Bulan Tiga (2022).

 

By admin