JawaPos.com – Sidang judicial review sistem pemilu berlanjut di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang kemarin (23/2), hakim konstitusi mendengarkan keterangan dari sejumlah pihak terkait. Yakni, PKS, PSI, dan Muhammad Sholeh.
Menurut Faudjan Muslim, mewakili PKS, ada banyak hal positif dengan sistem proporsional terbuka. Di antaranya, dinamika internal partai akan berjalan maksimal. Sebab, ada kompetisi positif antarbakal calon dalam merebut hati masyarakat. Dinamika tersebut dapat mengajak pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Anthony Winza Prabowo, perwakilan dari PSI, menyatakan, sistem proporsional terbuka membuat proses menjadi sederhana. Yakni, menetapkan suara dan dukungan rakyat paling banyak dibanding lobi-lobi di internal. Dia berpendapat original intent dari pembentuk UUD menghendaki proporsional terbuka.
Sementara itu, Sholeh menilai, sistem proporsional terbuka mendorong pemilu menjadi sehat. Para caleg jauh sebelum pemilu berlangsung sudah mendekati warga.
“Berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang mana para caleg tidak akan melakukan kerja-kerja politik mendekati warga,” ujar advokat yang memenangkan gugatan MK sistem pemilu terbuka pada 2008 lalu itu.
Sholeh juga membantah klaim yang menyebut sistem terbuka mahal. Bagi dia, itu sangat bergantung sosok caleg. Dia menyebutkan, banyak juga caleg yang berhasil melenggang dengan modal sedikit. Contohnya, Johan Budi yang merupakan mantan komisioner KPK. “Uang dari mana dia, nyatanya bisa terpilih, bisa mengalahkan incumbent Budiman Sujatmiko,” ungkapnya.
Fakta itu, lanjut dia, menunjukkan bahwa track record calon lebih menentukan daripada modal atau kekayaan.
“Soal kekhawatiran politik uang dan sebagainya, itu tidak ada hubungannya dengan sistem pemilu. Kalau itu dikhawatirkan, tinggal bagaimana pendidikan politik pada warga oleh parpol. Ada juga KPU, Bawaslu, dan perangkatnya,” katanya.