Menjadi bagian tim penyelam Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Surabaya tak bisa sembarangan. Perlu fisik prima dan harus ekstrahati-hati supaya tak timbul korban baru. Mereka mendapat pelatihan khusus.

RAMADHONI CAHYA C., Surabaya

’’HARUS memikirkan banyak faktor. Enggak angger ujug-ujug,’’ kata Komandan Regu Rescue DPKP Surabaya Reno Pahlevi.

Ya, menjadi tim penyelam perlu keahlian khusus, tidak sekadar berani. Ada sejumlah aspek yang dihadapi saat mengevakuasi korban tenggelam.

Tim penyelam harus ekstrahati-hati agar tak muncul korban baru. Sebab, perairan Surabaya yang penuh dengan lumpur mengakibatkan visibilitas nol. Bahkan, banyak tonggak kayu di dalam air yang dapat melukai petugas kapan pun.

’’Cari data yang valid dulu dan sinergi sama petugas instansi lain. Baru action,’’ terangnya di Posko Darurat Kali Jagir kemarin (20/2).

Alat perlindungan diri (APD) lengkap selalu digunakan. Di antaranya, tabung oksigen, pisau, pelampung, dan pakaian selam. Tak lupa, minimal didampingi satu rekan dan harus terikat pada tali supaya tak terbawa arus deras dan berfungsi sebagai alat komunikasi.

’’Satu entakan tali artinya ada rintangan, kalau dua entakan itu minta pertolongan,’’ ungkap pria 27 tahun tersebut.

Pergerakan di dalam air juga tak sembarangan. Mereka membentuk posisi tengkurap dan meraba sekitar. Dengan tujuan, posisi korban yang hendak dievakuasi bisa ditemukan secepatnya. Satu tabung oksigen dapat bertahan sekitar 10 hingga 20 menit. Kemudian, ada penggantian petugas selam yang lain.

’’Yang timer itu petugas di daratan. Kami hindari batas maksimal 30 menit, antisipasi jika ada kejadian yang tak diinginkan,’’ katanya.

Bagi Reno, Kali Jagir merupakan medan yang paling susah. Sebab, mengarah ke laut, arus bawah deras, dan persentase korban ditemukan lebih sedikit. Tentu, keamanan petugas menjadi prioritas utama sehingga tak dilakukan penyelaman pada insiden kemarin.

’’Ada juga binatang liar seperti ular dan biawak yang berisiko menggigit kalau tidak sengaja terpegang,’’ tutur alumnus SMAN 8 Surabaya itu.

Jika ditemukan tak terlalu dalam, korban bisa langsung diangkat. Nah, badan korban harus diikat terlebih dahulu di kaki atau punggung jika berada di sungai yang cukup dalam. Sebenarnya dapat diikat di bagian badan mana pun asalkan tak lepas.

’’Ada beragam penyebab korban tenggelam seperti mencari ikan, bunuh diri, atau terpeleset. Rata-rata 20 menit korban sudah meninggal,’’ papar Reno.

Tim selam DPKP Surabaya sudah lama ada. Namun, tim mendapatkan pelatihan sesuai standard operating procedures (SOP) sejak 2016. Komando Pasukan Katak (Kopaska) melatih mereka secara khusus selama dua pekan. Sekitar 20 orang mendapatkan pelatihan di setiap gelombangnya. ’’Sekarang ada empat regu. Di setiap regunya ada 20 orang yang siaga 24 jam,’’ jelasnya.

Sebelum mendapatkan pelatihan, mereka mengandalkan nekat. Namun, mereka tetap mendapatkan basic skill dari kepala UPTD saat itu yang merupakan seorang penyelam. Mereka rutin menjalani latihan sekali sepekan di Kolam Renang Jambangan atau Kolam Renang Marinir Karang Pilang. ’’Setiap Rabu, sesuai mood anak-anak saja mau latihan di mana,’’ celetuknya.

Tim penyelam juga menggunakan kecanggihan teknologi saat ini. Mereka memiliki drone bawah air. Fungsinya, memperluas visibilitas mereka. Tentu, sebelum menyelam, kondisi petugas harus prima. Sekadar flu atau demam pun tak disarankan ikut.

’’Tidak bisa memaksakan supaya tak menambah korban,’’ paparnya.

By admin