TEKNOLOGI kecerdasan buatan (KB) belakangan ini menarik perhatian banyak orang secara global. Sejak tiga bulan lalu, orang-orang di media sosial ramai membicarakan sebuah robot percakapan (chatbot) bernama ChatGPT yang dirilis oleh OpenAI pada November 2022. Robot ini memiliki kemampuan untuk merespons pertanyaan atau permintaan kita secara tepat dan kontekstual sesuai dengan set data yang dimiliki.
Sebelumnya, jagat maya juga dihebohkan oleh pernyataan Nando de Freitas di Twitter. Direktur Riset DeepMind itu mengatakan bahwa ’’Permainan ini telah usai! Ini tinggal membuat modelnya lebih besar, lebih aman, bisa berhitung secara efisien, lebih cepat dalam membuat sampel, memorinya lebih pintar, dengan modalitas yang lebih banyak”.
Pernyataan Freitas itu menanggapi pesimisme sebagian orang terhadap agen robotik bernama Gato yang ia kembangkan bersama timnya di DeepMind. Pada Mei 2022, tim DeepMind merilis sebuah laporan yang menyatakan bahwa Gato sebagai agen generalis sudah memiliki tingkat kecerdasan seperti manusia. Ia tidak hanya bisa melakukan satu tugas tertentu, tetapi sudah terlatih dengan banyak tugas sebagaimana manusia.
Perkembangan ini menimbulkan beragam respons. Beberapa orang optimistis bahwa perkembangan teknologi KB akan mendorong pada efisiensi. Namun, beberapa orang lainnya khawatir perkembangan ini akan mengarah pada distopia teknologis seperti yang sudah digambarkan dalam beberapa film fiksi sains.
Kekhawatiran tersebut mendorong beberapa institusi untuk merumuskan etika KB (AI ethics) yang mengatur bagaimana sebaiknya teknologi KB dikembangkan dan digunakan. Sejak 2016, berdasar catatan Schiff dkk (2020), terdapat lebih dari 80 dokumen etika KB yang telah dibuat oleh berbagai institusi, mulai UNESCO, OECD, dan Uni Eropa hingga Microsoft, Google, dan IBM. Hal tersebut dilandasi oleh pandangan bahwa perkembangan KB harus diatur oleh prinsip-prinsip etis agar tidak menjadi bumerang bagi manusia.
Namun, beberapa ahli mengkritik upaya tersebut. Prinsip-prinsip etis saja tidak cukup untuk mengatur pengembangan dan penggunaan teknologi KB (Mittelstadt, 2019). Prinsip-prinsip etis ini sering kali diabaikan dalam praktiknya karena kalah oleh pertimbangan ekonomi. Para insinyur dan pengembang teknologi KB juga jarang yang dididik untuk menaruh perhatian terhadap persoalan-persoalan etika (Hagendorff, 2020). Karena itu, Munn (2022) bahkan menyatakan bahwa etika KB ini sebenarnya tidak berguna.
Semisal, salah satu prinsip etis yang selalu disebutkan dalam banyak dokumen etika KB adalah prinsip keadilan (principle of fairness). Prinsip ini menyatakan bahwa tidak boleh ada satu orang pun yang ditinggalkan dalam perkembangan teknologi KB ini. Untuk menerapkan prinsip ini, misalnya, teknologi KB harus didesain agar dapat digunakan oleh semua orang dan set datanya harus sangat beragam agar terhindar dari berbagai bias, seperti bias gender, etnis, dan abilitas.
Para insinyur dan pengembang KB, dengan alasan agar produknya dipercaya oleh masyarakat, mungkin saja memenuhi prinsip ini. Mereka akan melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan menurut prinsip keadilan. Namun, membuat desain yang aksesibel untuk semua orang dan set data yang beragam itu belum memadai untuk mewujudkan keadilan.
Persoalan keadilan tidak cukup diatasi hanya dengan solusi teknis. Sebab, perkembangan teknologi KB ini juga memunculkan persoalan-persoalan lain yang bersifat nonteknis. Semisal, persoalan ketenagakerjaan. Suka atau tidak, perkembangan AI ke depan akan mendisrupsi pasar tenaga kerja.
Laporan World Economic Forum (WEF) pada 2020 memperkirakan, sebelum 2025, sebanyak 85 juta pekerjaan akan hilang digantikan oleh mesin dan 97 juta pekerjaan baru akan muncul. Sekilas ini memang menjanjikan bagi para tenaga kerja karena jenis pekerjaan baru yang akan muncul lebih banyak daripada jenis pekerjaan yang akan hilang.
Namun, pekerjaan baru yang akan muncul itu memerlukan keterampilan khusus yang umumnya hanya dimiliki oleh orang-orang berpendidikan tinggi. Hal ini akan terbentur oleh fakta bahwa ternyata lebih dari separo tenaga kerja kita hanya berpendidikan tingkat dasar. Artinya, sebagian besar tenaga kerja yang ada saat ini akan kesulitan memperoleh pekerjaan baru ketika apa yang diperkirakan oleh WEF itu sungguh terjadi.
Itu salah satu bukti bahwa memenuhi prinsip-prinsip etis saja tidak membuat teknologi KB sepenuhnya menguntungkan bagi kita semua. Di luar persoalan teknis, perkembangan teknologi KB juga akan banyak mengubah lanskap kehidupan manusia, yang itu tidak bisa ditangani dengan prinsip-prinsip etis yang mengatur aspek teknis semata. Apalagi di era ini, sebagaimana dikatakan oleh sosiolog Jerman Ulrich Beck, etika itu seperti rem sepeda di badan pesawat. Artinya, ia tidak akan berpengaruh sama sekali pada laju pesawat yang kita tumpangi.
Tentu kita tetap memerlukan prinsip-prinsip etis sebagai dasar untuk membuat keputusan moral. Namun, prinsip etis itu bukan segalanya. Ia masih perlu diterjemahkan dan diintegrasikan ke dalam satu sistem ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan yang lebih konkret dan punya daya koersif. Dengan demikian, prinsip etis tidak akan lagi menjadi rem sepeda di badan pesawat atau kata-kata bijak yang hanya indah dipajang di laman media sosial. (*)
*) TAUFIQURRAHMAN, Dosen Filsafat UGM dan direktur Antinomi Institute