DALAM sejarah peradilan di Indonesia, peradilan Sambo mungkin yang paling spektakuler, paling dramatis, dan akan paling lama diingat banyak orang. Implikasinya begitu luas, bukan hanya secara individual, tetapi juga secara sosial dan secara kelembagaan kepolisian.

Dari semua tokoh kasus Sambo, tokoh Ferdy Sambo paling menarik. Tanpa sosoknya, magnet drama Sambo akan melemah. Pengalaman Sambo mulai dari masa kecil hingga jadi jenderal bintang dua layak diteliti dalam sosiologi atau ilmu komunikasi. Untuk menghasilkan disertasi tersebut, pendekatan biografis, fenomenologis, atau interaksi simbolis dapat digunakan. Fokus utamanya adalah transformasi identitas dari seorang pejabat tinggi kepolisian yang dihormati menjadi terpidana hukuman mati, dari seorang ”kesatria” menjadi seorang ”paria”.

Peneliti layak mempertanyakan, ”Bagaimana Sambo memikirkan dirinya saat ini sebagai terpidana? Bagaimana ia merenungkan masa silam dan masa depannya? Sejauh mana penyesalannya? Apakah ia akan melakukan kejahatan serupa yang menghinakan dirinya andai ia bisa dikembalikan ke masa lalu?”

Kini Sambo harus rela melewati transformasi identitasnya. Begitu dahsyat stigma sosial yang disandangnya. Oleh karena manusia mampu berdialog dengan dirinya, saat ini Sambo mungkin sedang melakukan retrospeksi atas perjalanan hidupnya. Sambo kini mesti mendefinisikan ulang dirinya dengan cara berbeda dan menafsirkan ulang pengalaman hidupnya, mungkin secara revolusioner. Ia kini mungkin berpikir bahwa kejayaan masa silamnya seperti fatamorgana hampa, hanya mimpi di siang bolong, atau labirin yang ruwet. Kini ia mungkin sadar, ia tidak memiliki kebanggaan apa pun; bahwa pencapaian kariernya sekadar kedunguan dan sumber bencana; bahwa orang-orang yang dulu ia anggap setia ternyata telah mengkhianatinya.

Hampir bisa dipastikan, Sambo telah mengalami transformasi identitas mendadak atau radikal; identitas terbarunya jauh berbeda dari identitas semula (Strauss, 1959; Denzin, 1987). Sambo telah dan sedang mengalami sejenis gegar budaya yang ditandai dengan kesadaran mental baru dan menuntut peran baru dalam lingkungan sosial baru. Perubahan identitas mengisyaratkan penilaian baru tentang diri sendiri dan orang lain, tentang peristiwa, tindakan, dan objek.

Dengan ungkapan lain, Sambo telah dan sedang mendapatkan citra diri baru, bahasa diri baru, hubungan baru dengan orang lain dan dengan struktur sosial. Orang-orang di kepolisian yang berpangkat lebih rendah darinya kini tidak lagi menyapanya ”jenderal” dengan badan sedikit membungkuk dan sedikit ketakutan. Mereka bahkan mungkin tidak sudi bertemu dengan Sambo. Intinya, ada kesenjangan yang menganga antara identitas lama Sambo dan identitas barunya.

Kini semua sifat baik yang melekat pada Sambo dinafikan oleh lingkungan sosialnya, baik di kepolisian ataupun di lingkungan masyarakat; pengabdiannya kepada kepolisian selama ini dianggap kepura-puraan untuk meraih jabatan dan kekayaan. Dalam pandangan Strauss, transformasi identitas radikal berbeda dengan transformasi parsial yang juga menuntut perubahan peran, tetapi tidak total. Seperti perubahan identitas orang yang memasuki dunia pernikahan, orang yang menjadi profesor, atau kini menyandang gelar haji.

Menggunakan perspektif Harold Garfinkel (1973), Sambo telah melalui degradasi status akibat pembunuhan berencana yang telah dilakukannya bersama gengnya. Dampaknya adalah rasa bersalah tak tepermanai, rasa malu, dan pikiran: ”Saya ingin tenggelam di bawah lantai; saya ingin lari dan bersembunyi; saya ingin bumi ternganga dan menelan saya.”

Masih dalam tahanan saat ini, Sambo boleh jadi marah kepada diri sendiri dan tidak sudi lagi berhubungan dengan orang lain di luar keluarga dan sahabat-sahabat terdekat yang dulu dan kini masih setia kepadanya. Merasa terkutuk, Sambo boleh jadi merasakan berbagai keluhan seperti sakit kepala, kerongkongan kering, batuk, terus-terusan, meludah, mual, muntah-muntah, tak dapat tidur, dan mimpi buruk. Intinya, Sambo mungkin mengalami depresi berat. Tak heran jika psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengingatkan agar pihak berwenang selalu mengawasi Sambo agar ia tidak nekat melakukan bunuh diri.

Degradasi status Sambo begitu paripurna karena kini ia ”bukan siapa-siapa” dan ”bukan apa-apa.” Di mata masyarakat, Sambo kini menjadi orang yang sama sekali berbeda. Sebagian masyarakat yang pernah ”dizalimi” oleh segelintir oknum polisi seperti tidak menyisakan rasa kasihan sedikit pun kepada Sambo. Mereka seolah begitu puas dengan vonis hukuman mati yang dijatuhkan majelis hakim kepadanya. Pada titik ini, Sambo seolah telah memperoleh hukumannya yang setimpal secara sosial, yang juga mungkin membebani anak-anaknya dan juga keluarga besarnya.

Begitu banyak orang yang terimbas oleh kasus ini, termasuk keluarga Yosua, para polisi yang kariernya hancur karena terlibat obstruction of justice, juga keluarga mereka masing-masing, dan kepolisian RI sebagai lembaga. Benar kata beberapa pengamat kepolisian, kasus Sambo harus menjadi titik tolak bagi kepolisian untuk berbenah. Pembenahan ini seyogianya tidak bersifat anget-anget tahi ayam atau tambal sulam, tapi secara menyeluruh. Untuk itu, dibutuhkan Kapolri yang berani. Siapa orangnya? Kita lihat saja nanti. (*)


*) DEDDY MULYANA, Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

By admin