JawaPos.com – Penetrasi kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV) di Indonesia memang masih minim. Masyarakat menilai hal ini masih terkait dengan infrastruktur yang belum memadai sehingga memilih kendaraan listrik sebagai sarana mobilitas yang diklaim ramah lingkungan masih belum terlalu urgent.
Selain itu, masih banyak tantangan lainnya yang membuat penetrasi EV di Indonesia jadi lambat. Selain karena kesiapan infrastruktur, hal lainnya yang menjadi hambatan adalah mahalnya harga kendaraan listrik baik sepeda motor atau mobil.
Melalui sebuah diskusi yang digelar Forum Wartawan Otomotif Indonesia (Forwot) yang bertajuk “Net Zero Carbon, Tantangan dan Peluang Akselerasi Pasar Otomotif Indonesia” di arena IIMS 2023, JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Ilmate) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufiek Bawazier menerangkan, daya beli masyarakat yang masih rendah menjadi salah satu penghambat penetrasi EV di Indonesia.
Tantangan menuju net zero emission, penggunaan kendaraan listrik yang ramah lingkungan saat ini adalah masih terkait daya beli masyarakat. Terlebih mobil, untuk kendaraan tersebut, harganya masih diatas rata-rata kemampuan membeli masyarakat.
“60 persen masyarakat kita saat ini daya belinya masih berada di angka Rp 300 jutaan, inilah mengapa penetrasi EV khususnya mobil di Indonesia masih sedikit. Karena pasarnya masih belum terbentuk, mereka nggak mampu membeli,” ujar Taufiek.
Dia menambahkan, Saat ini, yang sedang dilakukan pemerintah adalah membentuk ekosistemnya. Bagaimana cara supaya kendaraan listrik khususnya mobil bisa diproduksi secara lokal, menggenjot TKDN (Tingkat Kandungaj Dalam Negeri);dan penggunaan komponen lokal supaya harganya bisa lebih terjangkau lagi.
“Salah satunya adalah baterai, ini juga terus didorong supaya bagaimana baterai bisa diproduksi di dalam negeri, battery pack-nya dan sebagainya. Pada akhirnya ini bisa menurunkan import yang berpengaruh pada harga jualnya,” lanjut Taufiek.
Meski begitu, secara regulasi sebetulnya pemerintah sudah siap dan menyiapkan terkait kendaraan listrik dan net zero emission tadi. “Walau teknologi ini belum mature, yang jelas kami sudah menyiapkan,” imbuh Taufiek.
Dari sisi industri, Hari Budianto selaku Sekjen Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (Aisi) sependapat dengan Taufiek. Menuru Hari, di negara low medium income atau yang berpenghasilan menengah ke bawah, kendaraan bermesin pembakaran konvensional masih lebih relate dengan masyarakat.
“Saya sering mendapat pertanyaan kenapa Aisi belum mau ke elektrifikasi, ya karena daya beli masyarakatnya masih belum mampu. Di sepeda motor misalnya, dengan rata-rata penggunaannya yang jarak jauh sebagai sarana mobilitas, buat masyarakat yang paling masuk akal adalah yang bermesin pembakaran konvensional.
Dia melanjutkan, saat ini sepeda motor yang paling terjangkau misalnya di kelas 110 sampai 125 cc masih paling menjadi alasan dan pilihan konsumen. Dia bilang kalau membeli mobil harganya berkali-kali lipatnya harga motor, selain itu, harga yang versi listrik juga demikian, masih lebih mahal dari sepeda motor bermesin pembakaran konvensional termurah di pasaran. “Net zero emission adalah kita bicara konsekuensinya. Perjalanannya masih sangat panjang,” tandas Hari.