JawaPos.com – Sekolah yang harusnya jadi salah satu tempat teraman bagi anak justru berubah menjadi mimpi buruk. Belum genap dua bulan di awal tahun ini, namun sudah puluhan anak dilaporkan mengalami kekerasan seksual di satuan pendidikan.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sejak Januari hingga 18 Februari 2023, ada 10 kasus kekerasan seksual terhadap anak di satuan pendidikan. Dari jumlah tersebut, 50 persen kasus kekerasan seksual ini terjadi di jenjang SD/MI, 10 persen di jenjang SMP, dan 40 persen di Pondok Pesantren.

Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mengatakan, pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan semuanya laki-laki, ada 10 orang. Adapun status pelaku sebagian besar merupakan pimpinan ponpes dan guru. Kemudian disusul kepala sekolah dan penjaga sekolah.

”Sedangkan korban total 86 anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak korban laki-laki sebanyak 37,2 persen dan korban anak perempuan mencapai 62,8 persen,” ujar Retno, Senin (20/2).

Menurut Retno, ada sejumlah modus yang dilakukan oleh para predator seksual tersebut. Diantaranya, bujukan untuk mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik Ponpes, evaluasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 wib kemudian dicabuli, diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku, memeriksa pekerjaan rumah sambil dipangku. Bahkan yang lebih bejat lagi, siswa dilecehkan justru usai melaporkan pelecehan yang dialaminya. ”Korban malah dicabuli Kepsek di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan,” ungkapnya.

Dari modus-modus yang ada, relasi kuasa masih sangat kuat digunakan untuk melakukan kekerasan seksual di satuan pendidikan. Hal ini pula yang menjadikan pelaku seolah memiliki kebenaran hakiki baik ucapan maupun tindakannya. Sehingga hanya sedikit masyarakat yang mempercayai kebenaran peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban yang notabene masih di bawah umur.

Sayangnya, selama ini, hukuman bagi pendidik yang melakukan kekerasan seksual hanya sebatas mutasi. Menurut Ketua Tim Kajian Hukum FSGI Guntur Ismail, dinas pendidikan umumnya menggunakan peraturan yang berlaku umum. Yaitu peraturan kepegawaian dalam PP No.53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil. ”Sementara dalam hukum kepegawaian tidak ada hukuman penjara, sehingga kerap kali sanksi ketika korban tidak melapor ke polisi adalah berupa mutase,” keluhnya.

Padahal, lanjut dia, mutasi sejatinya bukanlah hukuman. Akan tetapi, digunakan untuk promosi jabatan atau atas keinginan si pegawai sendiri.

Dampaknya, risiko si guru pelaku mengulangi perbuatan yang sama kelak di kemudian hari di tempat barunya pun sangat besar. Sebab, tak ada efek jera yang diberikan. Dia mencontohkan pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan guru agama berinisial AM (33 tahun) di SMPN di kabupaten Batang, Jawa Tengah (2022).

Ternyata, pelaku sebelumnya diduga pernah melakukan kejahatan serupa di sekolah sebelumnya. Ada juga kasus guru agama berinisial M (51 tahun) di salah satu SD di kabupaten Cilacap yang cabuli 15 siswinya yang berakhir mediasi. ”Guru yang jadi pelaku kemudian dimutasi, lalu berbuat kekerasan seksual lagi terhadap siswinya di sekolah yang baru,” ungkapnya.

Melihat kondisi ini, pihaknya pun mendesak pemerintah pusat maupun daerah memastikan para pendidik yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak didiknya harus dipidana. Bukan berakhir dengan mediasi. Hal ini untuk mendorong adanya efek jera sekaligus tidak ada anak yang menjadi korban lagi.

By admin