Dewanto Amin Sadono tidak menjejalkan informasi kepada pembaca, tapi memotong-motongnya secara fragmentatif dan membiarkan pembaca menyusun sendiri agar menjadi satu kisah yang utuh. Ini membuat pembaca jadi terlibat, seolah mereka sedang menyusun puzzle cerita.
ADALAH tugas seorang pencerita membuat audiens tidak mendapatkan kesimpulan secara instan. Ada alasan mengapa ini perlu dilakukan: untuk memberi audiens pengalaman masuk ke dalam cerita.
Sebaik-baiknya cerita adalah cerita yang mampu mengikat audiens, membuat mereka merasa dekat. Tentu saja ini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan karena setiap orang punya pengalaman yang berbeda-beda. Tetapi, selalu ada strategi yang bisa digunakan seorang pencerita untuk menjembatani perbedaan itu, seperti juga yang digunakan Dewanto Amin Sadono dalam kumpulan cerpen (kumcer) Kisah Ganjil Tangan Buntung dan Kisah-Kisah Ganjil Lainnya (Langgam Pustaka, 2023).
Ada satu hal yang sama tentang manusia: pada dasarnya terlahir sebagai pemecah masalah. Dalam hidupnya, manusia selalu terlibat melakukan deduksi, menebak, dan menarik kesimpulan atas apa yang dilihatnya. Hal ini membuat kita selalu tertarik pada ketidakhadiran informasi yang terorganisasi.
Ketidakhadiran informasi yang terorganisasi memberikan ruang tafsir. Seperti itulah kira-kira strategi yang dilakukan penulis dalam kumcer ini. Ia menyusun kisah sedemikian rupa hingga memungkinkan pembaca melakukan deduksi, menebak, dan menarik kesimpulan. Ia menerapkan sebuah strategi yang biasa digunakan para sineas Amerika dalam film-film mereka: alih-alih memberi 4, beri audiensmu 2+2!
Penulis tampak mengadaptasi strategi ini dalam menyusun kisah hingga memungkinkan pembaca menyusun sendiri ceritanya. Penulis tidak menjejalkan informasi kepada pembaca, tapi memotong-motongnya secara fragmentatif dan membiarkan pembaca menyusun sendiri agar menjadi satu kisah yang utuh. Ini membuat pembaca jadi terlibat, seolah mereka sedang menyusun puzzle cerita.
Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini sengaja dibuat berlapis. Lapisan-lapisan cerita ini membuat ceritanya seolah memiliki dua jalan yang berbeda, jalan yang tampaknya tidak saling berhubungan, namun sesekali bertemu di pengujung kisah. Ada juga jalan yang hanya bersilangan sebentar sebelum kemudian kembali berpisah. Kedua jalan cerita yang seperti tidak berhubungan ini sebenarnya saling berpilin satu sama lain untuk menghasilkan keutuhan cerita.
Selain strategi lapisan cerita, cerpen dalam kumpulan ini sengaja dibuat samar, namun tidak terlalu samar hingga pembaca sama sekali tidak mengerti ceritanya tentang apa. Pembaca masih mampu mencerna cerita ini seperti halnya mencerna cerita realis. Meski, tetap saja, menyisakan gema keragu-raguan tentang benar atau tidaknya peristiwanya terjadi. Tengoklah cerpen ”Aku Masuk Kamar, Bersiap Jadi Merpati” (halaman 71):
”Aku menunggui jenazah nenek yang terbujur kaku di ambin kayu semalaman—berharap sesuatu lekas terjadi. Namun, aku tertidur di kursi menjelang pagi dan tak tahu kapan persisnya nenek mengangkasa sebagai burung dara. Ketika aku terbangun menjelang siang, jasad nenek sudah menghilang.”
Dalam cerpen ini, tokoh aku yang merupakan narator tidak bisa dipercaya secara mutlak. Bagaimanapun ada batasan antara kebenaran (subjektif) yang dimiliki aku dengan kebenaran (objektif) yang dialami tokoh-tokoh lain.
Aku bisa saja tidak mengetahui dengan pasti kejadian sebenarnya karena aku sendiri tidak menyaksikan peristiwa itu. Jadi, bisa saja ada orang lain yang membuang atau menghilangkan jenazah itu. Seandainya yang berkata adalah narator impersonal, kemungkinan bahwa kejadian itu benar-benar terjadi akan lebih tinggi.
Seperti judulnya, cerita-cerita dalam kumpulan ini kerap menghadirkan peristiwa-peristiwa ganjil. Penulis kerap bermain-main, menjadikan keganjilan sebagai lokus penceritaan untuk membangun lapisan-lapisan cerita yang kadang menipu atau sekadar menggoda. Beberapa kali cerita dibuat seolah akan menyentuh peristiwa besar dalam sejarah Indonesia, ternyata tidak.
Pada cerpen ”Kisah Ganjil tentang Pelaut dan Keturunannya”, misalnya. Hilangnya pelaut bernama Taslani pada tahun 1965 dan Caslani pada tahun 1982 menggoda pembaca untuk berpikir bahwa cerita ini akan membawa kita kepada peristiwa besar dalam sejarah Indonesia.
Nyatanya tidak. Hilangnya tokoh-tokoh dalam cerita ini sama sekali tidak berhubungan dengan peristiwa besar itu karena di akhir cerita dua tokoh yang hilang tersebut malah kembali. Hal ini membuat kita merasa ditipu. Dan, sebaik-baiknya penipuan adalah penipuan yang tidak menyebabkan kerugian: yakni, penipuan yang dilakukan oleh pencerita yang andal. (*)
—
- JUDUL: Kisah Ganjil Tangan Buntung dan Kisah-Kisah Ganjil Lainnya
- PENULIS: Dewanto Amin Sadono
- PENERBIT: Langgam Pustaka
- TAHUN: Januari 2023
- TEBAL: 13 x 20 cm, 138 halaman
—
*) ALIURRIDHA, Penulis, pengajar Bahasa & Sastra Inggris Universitas Terbuka