INI masih soal resepsi puncak Satu Abad NU di GOR Delta Sidoarjo, Jawa Timur. Terkait amatan yang lepas dari perhatian khalayak. Terutama para pemerhati dan pengamat NU –mereka lebih tertarik membahas rekomendasi Muktamar Internasional Fikih Peradaban.

Seperti khalayak mafhum, ritual khas NU mengawali acara 7 Februari 2023 itu. Mulai lailatul qiraah, manakib Syekh Abdul Qadir Jaelani, qiyamul lail, ratib al attas dan asmaulhusna, ijazah kubro, salat Subuh berjemaah, salawatan bersama, hingga istighotsah kubro.

Selebihnya adalah acara seni budaya. Di antaranya, pembacaan puisi oleh KH D. Zawawi Imron, konser musik Slank, Rhoma Irama, Maher Zain, sampai pelawak Cak Lontong. Ada juga Karnaval Budaya Nusantara yang menampilkan Tari Sufi Nusantara sepanjang 12 kilometer –dari Alun-Alun Sidoarjo hingga Stadion Gelora Delta, Sidoarjo. Para penari dengan sikke (topi panjang) warna merah di kepala, badan berbalut hirqa (baju dan jaket pendek diikatkan di pinggang), dan tennur (bawahan/rok yang lebar melingkar) terus menari. Berputar-putar sambil mengibarkan bendera NU. Tari Sufi Nusantara meneguhkan bahwa sufisme itu bagian dari NU.

Di pengujung 100 tahun perjalanannya, NU juga menunjukkan kepada publik bahwa Banser sudah melek seni. Dua belas ribu Banser tak canggung berkolaborasi dengan Addie M.S. mendendangkan Ya Lal Wathon. Bahkan mengiringi lagu We Will Rock You dengan gerakan-gerakan koreografi. Dalam Festival Tradisi Islam Nusantara menuju Satu Abad NU di Stadion Diponegoro, Banyuwangi (9 Januari 2023), ratusan Banser juga bisa menarikan gerakan lebih rumit. Mengikuti irama musik terbang (hadrah) massal. Banser telah mengalami transformasi budaya!

Pelibatan komponis Addie M.S. dalam perayaan Satu Abad NU itu surprise. Semua tahu, Addie identik dengan musik simfoni atau orkestra –bukan tradisi Islami. Makanya, Addie memuji NU sebagai ormas Islam yang dapat menyelaraskan agama dan budaya dengan baik. ’’Istimewa sekali buat saya, musik simfoni atau orkestra itu biasanya dianggap di luar tradisi Islami. Padahal, yang namanya kesenian itu tidak ada agama. Seperti pohon cemara, biola, juga tidak punya agama,’’ kata Addie dalam konferensi pers resepsi puncak Satu Abad NU di lobi utama gedung PBNU (27/1).

Bagi NU, seni bukan hal baru. Ada jejak seni dalam perjalanan 100 tahun ormas beranggota sekitar 140 juta orang itu (mengutip Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf). Jejak seni pertama adalah salawat Badar. Semua nahdliyin hafal di luar kepala. Mulai bocah sampai orang sepuh. Syairnya sangat puitis. Berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW dan para pejuang perang Badar. Salawat Badar menjadi ’’lagu wajib’’ NU. Sering dikumandangkan di masjid-masjid dan di setiap acara NU.

Salawat Badar digubah KH Ali Manshur pada 1960 di Banyuwangi, Jawa Timur. Terinspirasi kegelisahan terhadap kondisi politik yang semakin tidak menguntungkan NU, ketika itu. Di mana PKI sedang berada di puncak kejayaannya. Pengaruh politiknya terus meluas hingga ke desa-desa. Konkuren dengan NU, sebagai organisasi para kiai dari kota sampai desa.

Jejak seni kedua di lembaran sejarah NU berupa lukisan. Orang yang melihat dan mengoleksi lukisan itu jauh mengalahkan mahakarya lukisan Pablo Picasso, Rembrandt, Vincent van Gogh, Leonardo da Vinci, dan Oscar-Claude Monet. Sebab, lukisan dengan tiga objek (bola dunia, tali pengikat, dan bintang sembilan) itu tercetak di bendera, logo, dan beragam atribut NU lainnya. Sedikitnya 140 juta nahdliyin pernah melihatnya.

Lukisan lambang NU dibuat KH Ridwan Abdullah. Kiai yang juga pelukis. Berkat kelihaiannya melukis, KH Hasyim Asy’ari –sebagai pendiri NU– secara khusus meminta Kiai Ridwan melukis lambang NU. Dalam waktu 1,5 bulan. Plus syarat tambahan: tidak meniru lambang organisasi lain, harus punya haibah (wibawa), dan tidak membosankan sampai kapan pun.

Tangan Kiai Ridwan yang pernah bekerja (sekaligus ’’belajar melukis’’) di rumah pelukis Belanda sibuk dalam gegas. Sebulan berlalu, banyak sketsa dibuatnya. Tak satu pun cocok dengan keinginan Mbah Hasyim. Setelah bermunajat kepada Allah SWT lewat istikharah, Kiai Ridwan menerima isyarat dari langit. Berupa lambang jagat dikelilingi bintang sembilan. Lalu dilukisnya seketika itu. Jadi! Lukisan lambang NU diperkenalkan kepada muktamirin dan pemerintah Hindia Belanda dalam Muktamar Ke-2 NU di Surabaya. Pada 1927. Atau, setahun setelah NU berdiri.

Lukisan lambang NU akan terus berkibar. Senandungan salawat Badar akan terus mengiringi khidmah NU pada abad keduanya. Sebagaimana Yaa Lal Wathon. Lagu ’’Kebangsaan NU’’ yang digubah KH Abdul Wahab Hasbullah pada 1916 –sepuluh tahun sebelum kelahiran NU. Juga Mars Satu Abad NU karya penyair-pelukis NU KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).

*) Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi, pekolom, dan pemuisi

By admin