RATU Tisha Destria menyebut, soal liga, yang perlu diperbaiki segera adalah sinkronisasi jadwal, manajemen risiko, perizinan, dan kesiapan infrastruktur. Berikut petikan wawancara khusus Jawa Pos dengan wakil ketua umum terpilih PSSI itu.
Anda terpilih sebagai wakil ketua umum I PSSI. Lalu, akhirnya bergeser menjadi wakil ketua umum II PSSI. Tanggapan Anda?
Statuta PSSI 2019 Pasal 42 Ayat 8 menyebutkan, wakil ketua umum I adalah yang paling lama melayani dan berpengalaman dalam sepak bola.
Dalam hal ini berpengalaman di koridor PSSI. Jadi, keputusan itu ada di tangan Komite Pemilihan (KP) PSSI saat melihat CV (curriculum vitae) yang udah di-submit masing-masing calon. Aturannya seperti itu. Jadi, bukan berdasar suara.
Sebelum KLB PSSI digelar, ada harapan Liga 2 dan Liga 3 musim 2022–2023 bisa kembali dijalankan oleh kepengurusan PSSI yang baru. Apakah harapan itu akan diwujudkan?
Sebagai pengurus PSSI yang baru, kami mesti melihat dulu kondisi terkini seperti apa. Sebab, ada variabel yang tidak bisa diubah. Yaitu, waktu. Kesiapan peserta kompetisi memang paling utama. Lalu, kita juga melihat kondisi bisnis dan marketing. Melihat juga kondisi persiapan penyelenggaraan kompetisi. Tapi, semua variabel itu terkendala dengan waktu. Sekarang kita mau menyongsong Piala Dunia U-20 2023. Mau memasuki bulan puasa juga. Sementara itu, Juli sudah harus menggelar kompetisi musim baru.
Pak Ketua Umum (Erick Thohir) bilang akan merevisi Statuta PSSI supaya perempuan bisa lebih berpartisipasi di lingkungan PSSI. Bagaimana tanggapan Anda?
Pasti ya. Saya sangat setuju. Saya highlight diri saya. Bagi teman-teman bergender sama, kita harus bertanding dengan kompetensi. Bukan dengan gender kita. Ini juga jadi PR (pekerjaan rumah) bagi sepak bola putri secara menyeluruh. Keterlibatan perempuan di level manajemen juga menjadi bagian dari pengembangan sepak bola putri.
Terkait penyelenggaraan Liga 1, apa sih yang menurut Anda urgen untuk dibenahi?
Kalau sekarang jangan muluk-muluk. Recovery saja dulu. Sinkronisasi jadwal diperbaiki. Perbaiki juga manajemen risiko, safety, dan security. Lalu juga soal permit, kesiapan infrastruktur. Itu saja dulu.
Menurut Anda, apakah penggunaan VAR (video assistant referee) di Liga Indonesia sangat mungkin untuk diwujudkan?
VAR di Indonesia bukan masalah alat. Tapi, masalah SDM (sumber daya manusia). Ketika ada VAR, selain wasit yang bertugas di lapangan, kita mesti memiliki wasit yang bisa mengoperasikan VAR dengan kompetensi. Jadi, challenge-nya bukan infrastruktur, tapi SDM. Ada berapa wasit kita yang tersedia? Wasit yang masuk kategori level bagus untuk di-upgrade untuk mengoperasikan VAR. Lalu, ada berapa wasit muda kita?