MESTINYA pemerintah kita harus berterima kasih kepada rakyatnya yang sangat-sangat mengerti akan ’’kesulitan” dan kekurangan yang dialami pemerintahnya. Mereka rela diperlakukan apa saja, asalkan tidak diganggu penghidupannya. Rakyat tidak pernah berdemo besar-besaran manakala minyak goreng langka dan kini harganya mahal.
Para penjual gorengan tidak tersinggung ketika dikatakan oleh pejabat, kerjaan ibu-ibu kok hanya antre minyak goreng, kenapa makanan tidak direbus atau dikukus saja. Para penjual ya tidak lantas merebus atau mengukus bakwan dan mendoan jualannya.
Kini BBM pertamax naik drastis, juga tidak ada demo, karena pertalite tidak dinaikkan. Doanya, semoga pertalite tidak lantas langka di SPBU dan kemudian pelan menghilang seperti premium.
Nanti Lebaran, juga hampir dipastikan, para pemudik, misalnya, akan tetap rela mengorbankan nyawa. Bagi mereka yang naik kendaraan pribadi sekalipun, juga tidak lebih baik nasibnya. Di sepanjang pantai utara yang selama ini menjadi urat nadi penting, jalannya masih sempit dan banyak lubang menganga hingga bikin kemacetan dan kecelakaan. Jalan pantura menjadi ’’proyek abadi” yang dapat menghidupi para oknum birokrat sehingga tak kunjung selesai diperbaiki sepanjang tahun.
Mereka adalah rakyat Indonesia yang perkasa, yang tahu akan kesulitan pemerintahnya. Rakyat Indonesia adalah sosok pejuang yang tiada bandingnya di dunia. Mereka sangat paham bahwa pemerintahnya sedang kesulitan sehingga tidak mampu menyediakan sarana angkutan massal yang merakyat, murah, aman, tepat waktu, dan nyaman.
Rakyat juga tidak mau rumit-rumit berhitung matematis, mengapa sih pemerintah begitu gampangnya membangun jalan layang dan jalan tol yang mahal biayanya, tapi tidak mampu menyediakan angkutan massal yang murah meriah?
Banyak ke(tidak)bijakan selama ini menjadi aneh dan para warga sudah ”nrimo ing pandum” (kata orang Jawa). Seorang pejabat yang berakal budi atau berakhlak mulia akan merasa jatuh harga dirinya (dignity) jika tidak melayani rakyat. Dia tidak hanya bicara tentang supremasi hukum. Istilah supremasi hukum itu sebenarnya tidak cukup jika menginginkan pemimpin yang bermartabat tersebut.
Sederhana saja logikanya. Sebab, jika hanya supremasi hukum yang jadi landasan, maka kalau sang pejabat menjumpai sebagian rakyatnya kelaparan misalnya, dia tidak akan dihukum negara jika tidak mengalokasikan dana khusus untuk memberi makan rakyatnya tersebut. Namun, jika kita bicara supremasi akhlak, tindakan tidak memberi makan kepada orang kelaparan tersebut sudah termasuk pelanggaran ’’HAM”, bahkan dosa besar yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Karena itu, menarik berbicara tentang zaman kalabendu seperti sekarang, sebagaimana ditulis dalam Negarakertagama yang dituturkan Goenawan Mohamad. Dalam kitab itu, raja Kertanegara, raja Singasari terakhir pada abad XIII, merasa hidup dalam zaman Kaliyuga, sebuah masa terakhir kehidupan bumi dalam kosmologi Hindu. Pada zaman itu, terjadi keguncangan tata nilai, kekalutan, kebingungan, dan bencana.
Adalah R Ng Ronggowarsito yang menulis bait-bait dalam Kalatidha: ”Mangkya darajating praja. Kawuryan wus sunya-ruri. Rurah pangrehing ukara. Karana tanpa palupi…..” Singkatnya, negara sedang chaos karena tanpa keteladanan dari sang pemimpin. Para calon pemimpin jangan hanya mengejar harta dan kedudukan hingga menimbulkan bencana dan bentrokan sebagaimana diperlihatkan dari berbagai pilkada atau korupsi di negeri ini.
Di tengah-tengah kesulitan hidup, di tengah-tengah zaman kalabendu, serta kegersangan spiritualitas dan seterusnya, banyak artis dan orang kaya (yang stres) sibuk mencari guru atau perkumpulan-perkumpulan spiritual. Semua kemodernan dalam arti sistem sosial memberikan petunjuk ke arah mana dunia bergerak. Orang banyak mendesakkan diri, menggantikan kenyamanan alamiah dengan yang buatan manusia. Di sinilah ketenteraman hidup dipertaruhkan.
Yang mengalami stres ternyata tidak hanya kaum miskin, tapi juga para bos kaya raya dan para artis tersebut. Kisah zaman dahulu, seorang bos Hyundai Korea yang terjun dari lantai atas sebuah hotel hingga tewas menunjukkan hal itu. Demikian pula ramainya pengajian di hotel berbintang lima dengan mengundang dai-dai terkenal dan seterusnya menunjukkan kegelisahan sebagian kaum kaya untuk ’’lari” atau ’’escape” ke dunia spiritual.
Kini tantangan baru juga tidak ringan karena jahiliah modern kian membutakan mata. Masyarakat dunia sekarang ini adalah korban yang sempurna dari berhala kapitalisme dan pada satu sisi lagi, umat beragama di Indonesia diguyur racun, epidemi kebodohan berpikir, kedangkalan mata pandang, kekerdilan mental, kesempitan jiwa, mata kuda materialisme, yang secara keseluruhan melahirkan watak-watak primitivisme dan ketidak-beradaban, demikian kata Cak Nun.
Karena itu, ketika Lebaran nanti, para pejabat penting umumnya menyelenggarakan ”open house”, yakni ”mengundang” rakyat datang ke rumah dinasnya untuk bermaaf-maafan. Sadar atau tidak, acara semacam itu menunjukkan bahwa secara psikologis, sang pejabat merasa dalam posisi super dan seolah pula, dia merasa tidak memiliki kesalahan kepada rakyat atau kepada yang dia pimpin. Padahal semestinya, sang pejabatlah yang harus turun ke bawah untuk meminta maaf kepada rakyat atau bawahannya. Logikanya, dia yang diamanahi melayani rakyat, dialah yang lebih banyak berbuat kesalahan karena posisi rakyat adalah dilayani.
Hal yang kelihatannya sederhana itu, jika tidak dihayati secara benar oleh pejabat, akan melahirkan penyalahgunaan kekuasaan. Sesungguhnya halalbihalal hanyalah metode untuk silaturahmi setelah setahun sebelumnya berusaha maksimal untuk berbuat kebaikan. Bagi pejabat, kebaikan itu harus lebih banyak wujudnya karena selain diamanahi, dia dibayar dengan gaji dan fasilitas amat mahal. (*)
*) SARATRI WILONOYUDHO, Anggota Dewan Riset Daerah dan Ketua Koalisi Kependudukan Jateng