JawaPos.com- Nani sedang asyik menari. Badan dan tangannya bergoyang mengikuti musik. Jedukkk! Nani terjatuh. Seketika, dia menangis kesakitan. Bukannya menolong, Amomo yang sedang melihat malah menertawakan. Bahkan, menyindir Nani karena tak jago menari.
Amomo lantas memilih pergi. Membiarkan Nani menangis. Tidak lama dari kejadian itu, Amomo yang terjatuh saat bermain skateboard. Nani yang sedang lewat, segera menghampiri Amomo dan menolongnya. ”Terima kasih ya, Nani. Maafkan aku tadi malah tidak menolongmu,” gumam Amomo dengan nada menyesal.
Nani tidak marah ataupun dendam. Dia justru meminta Amomo mengajarinya bermain skateboard.
Kisah tersebut mungkin sederhana. Sudah terasa dekat dengan anak-anak. Tak banyak nasihat yang dituturkan secara gamblang di dalamnya.
”Kami memang buat cerita dan naskah tanpa nasihat-nasihat panjang atau langsung,” kata Aris Ananda, trainer dan pegiat edukasi, dalam sesi Edutainment dan Story Telling yang dihelat Fellowship Jurnalis Pendidikan (FJP) Batch IV Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Rabu (6/4).
Makna apa di dalam cerita itu akan ditangkap oleh anak-anak secara langsung. Jika memang ada perbedaan persepsi atau sudut pandang, maka di situ ada imajinasi dan kreasi anak yang berperan. “Dalam membuat cerita, kita mengasumsikan bahwa anak-anak itu cerdas. Jadi, mereka punya ruang sendiri untuk menyelami cerita,” jelas Aris.
Nani dan Amomo hanya dua tokoh di dalam Nano Nani Show. Ada beberapa tokoh lain yang turut mencerahkan pertunjukan marionette atau boneka tali tersebut. Ryan Shahrezade sebagai penggerak boneka tali Nani dan tokoh-tokoh lainnya. Sejak 1995, Ryan sudah menghidupkan beragam boneka untuk menghibur anak-anak.
Aris dan Ryan kini sudah banyak membawa Nani dan kawan-kawannya untuk mengisi berbagai acara. Mulai pertunjukan di sekolah, pusat perbelanjaan hingga di lokasi bencana untuk menghibur dan mengedukasi.
”Kami pernah juga hadir di tengah korban letusan Semeru. Namun, bukan dengan Nano Nani Show, tapi bentuk boneka tali yang lebih kecil karena kendala operasional,” tutur Ryan.
Boneka tali sebagai sarana pendidikan tak hanya terbatas untuk anak kecil. Orang dewasa juga turut menikmati sajian maknanya. ”Bukan karena masa kecil kurang bahagia. Yang bahagiapun, saat dewasa masih suka dengan penampilan boneka tali,” jawab Aris kemudian tertawa.
Sebagai medium belajar, boneka tali memiliki banyak keunggulan. Bentuknya yang menyurapai manusia, mudah membangkitkan imajinasi anak-anak. Bentuk boneka yang 3D itu mampu mentransfer pengetahuan dari beberapa indera. ”Pertunjukan boneka tali ini membantu anak-anak belajar life skill,” tutur Aris.
Dia mengungkapkan, anak dibantu untuk mengetahui beragam jenis emosi dan bagaimana cara menanganinya. ”Pertunjukannya harus interaktif. Seperti kejadian Nani dan Amomo tadi. Penonton anak-anak bisa dipancing untuk memberikan tanggapan. Apakah Nani harus membantu Amomo atau tidak?” imbuh Ryan. Nah, jawaban anak-anak akan menunjukan bagaimana pemahaman mereka, juga menjaga antusiasme mereka.
”Kami lihat pertunjukan boneka Nano Nani Show ini masih bisa diterima hingga 600 anak dalam ruangan,” jawab Aris.
Boneka Nano Nani Show memang terhitung cukup besar. Ukurannya menyamai tinggi anak-anak dengan kisaran usia 1 tahun. Beratnya mencapai sekitar 2,5 kilogram. Makin kecil ukuran boneka tali, maka makin kecil juga jumlah audiens yang bisa dimanjakan.
Tak hanya melakukan penampilan secara luring, Nano Nani Show juga bisa ditampilkan lewat media daring. ”Lewat Zoom juga bisa. Tapi wajib hukumnya untuk membuat pertunjukan tetap interaktif dengan anak-anak,” tegas Ryan.
Pengembangan boneka tali bukan saja lewat pertunjukan. Aris dan Ryan juga mengadakan pelatihan craft agar anak-anak bisa merangkai boneka tali sendiri. Ukurannya lebih kecil. Anak-anak diminta menempatkan tali pada boneka hingga membuat pertunjukan mereka sendiri. ”Tokohnya Mr Akuy. Mereka belajar menalikan tali supaya mengerti bagaimana proses menggerakkannya nanti,” imbuh pria kelahiran Jakarta tersebut.
Pembelajaran life skill seperti itu terasa menjadi lengkap. Anak-anak belajar menggunakan otak kanan dan kiri, mengelola emosi saat membuat karya hingga menggunakan imajinasi dalam membuat cerita.