JawaPos.com- Hari itu masih benderang. Angin terus memainkan musiknya sendiri. Jawa Pos pun beranjak. Dari hamparan beton berbentuk daun cinta, yang dibangun di atas ketinggian itu. Semilir angin seolah menjadi penuntun. Senyampang di Bukit Surowiti, jangan lewatkan Goa Langsih.
Goa Langsih sudah begitu lekat warga setempat. Goa yang disandingkan dengan nama Sunan Kalijaga, salah seorang Walisongo. Sudah turun temurun. Sejak ratusan tahun. Bahkan, setiap tahun pada bulan Dzulhijah, masyarakat masih rutin menggelar tradisi gerebek Surowiti. Satu pertanda syukur.
Goa itu menjadi magent. Satu destinasi wisata di Gresik. Namun, di wilayah pesisir utara, namanya belum seriuh Goa Maharani di Lamongan atau Goa Akbar di Tuban, itu. Wajar saja, karena cerita yang melatarinya berbeda. Goa Langsih diyakini sebagai salah satu tempat berkhalwat Kalijaga. Lokasi pengasingan diri untuk bertafakur.
Entah mengapa disebut Goa Langsih. Boleh jadi karena bentuknya. Yang dinilai seperti langsih, sebutan lain alat dapur panci dalam dialek sebagian warga Lamongan. Yang jelas, mulut Goa Langsih sempit. Semakin ke dalam, makin menyempit. Hanya cukup seukuran satu orang. Itupun tidak untuk orang bertubuh gendut.
Sore itu, Jawa Pos bersama tiga orang masuk ke Goa Langsih. Sebetulnya, ada empat orang. Tapi, satu orang perempuan memilih kembali. Mengurungkan niat. Memang, diperlukan nyali tersendiri. Melempar pandang ke kanan dan ke kiri, bebatuan cadas. Pepohonan tua dan semak seolah bercengkerama. Menyapa setiap yang datang sekaligus menjadi peneduh.
Persis di depan mulut goa, beragam tulisan terpampang. Beberapa di antaranya berbunyi: Gua Langsih adalah rumah berandal Lokajaya, nama lain dari Sunan Kalijaga saat muda. Selain itu, ada petunjuk bahwa di dalam Goa Langsih terdapat tiga ruangan. Pertama, ruang serambi atau ruang pertemuan). Kedua, ruang tahanan (tempat semedi). Dan, ketiga ruang kamar tidur (Goa Pelok). Di dalam Goa Langsih terdapat air tetes yang sangat ajaib.
Selain itu, ada tulisan Goa Langsih adalah tempat sakral, banyak kejadian di luar akal manusia, maka bagi pengunjung yang masuk diharapkan: Menjaga ketertiban, kebersihan, dan kesopanan; Tidak melakukan hal-hal yang dianggap aib, bagi wanita haid sebaiknya tidak masuk goa.
Nah, di bawah papan tulisan itu, ada lambang Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Tidak jauh dari banner itu, terlihat sebuah kotak infak terbuat dari kayu. Tampak tulisan imbauan agar pengunjung mengisi ke kotak itu. Sedikitnya Rp 1.000 agar diberi kemudahan ketika masuk.
Sinar matahari masih terang. Dari mulut Goa Langsih, pancaran sinar matahari itu menerobos rerimbunan belukar. Menusuk sela bebatuan. Goa ini tampak vertikal. Terbentuk dari proses geologi. Tanah ambles ke dasar bumi. Runtuhan itu membentuk sinkhole atau dalam bahasa Jawa disebut luweng.
Masuk ke Goa Langsih mesti berhati-hati. Menapak jalanan menurun. Cukup curam. Menginjak bebatuan. Jarak kepala dengan batu-batu di atas, begitu dekat. Jika ceroboh, kepala bisa terbentur. Pun juga kemungkinan terpeleset.
Struktur Goa Langsih terdiri atas dua ruangan. Atas dan bawah. Masuk ke ruang atas relatif mudah. Lorong lumayan lebar. Satu tubuh orang dewasa, masih tersisa rongga. Selain masih ada pancaran sinar matahari, saat itu terdapat satu lampu penerang, meski tidak cukup benderang.
Setelah berjalan merambat tidak sampai 50 meter, sampailah ke ruangan goa bagian bawah. Suasana terasa menjadi lebih pengap. Aura mistis mulai terasa. Keheningan menyelimuti perut bumi itu. Tinggal suara semilir angin, seolah menggubah sajak di hamparan gelap.
Jawa Pos pun bersama tim pun menghentikan langkah. Lalu, pandangan tertuju ke sebuah Lorong sempit dengan bebatuan terjal. Gelap. Namun, dengan bantuan sorot sinar handphone, terlihat ada sebuah tangga. Terbuat dari balok kayu besar. Menjuntai tegak ke bawah. Tangga itulah yang menjadi pengantar ke ruang utama Goa Langsih.
Menapaki anak tangga itu hanya cukup satu tubuh. Itupun begitu mepet. Kanan, kiri, dan belakang terimpit dinding bebatuan cadas. Begitu titian tangga berakhir, tibalah di ruang bawah goa. Lebih luas. Aroma bunga bercampur dupa tercium.
Di ruangan itu, ada batu cekung. Air menetes terus-menerus. Bunyinya seperti detak jarum jam. Merembes dari dinding goa. Itulah yang disebut sebagai tetesan air ajaib seperti tulisan sebelum masuk goa. Konon, air itulah yang dulu untuk minum dan berwudu Sunan Kalijaga saat menetap.
Di ruangan itu juga terdapat batu unik. Warga setempat menyebutnya dengan watu menjangan. Mungkin karena bentuknya sepintas seperti binatang menjangan alias rusa dengan tanduknya. Konon, dari cerita mulut ke mulut, bila pengunjung mampu memeluk batu menjangan itu dengan kedua tangannya maka mimpinya bisa terkabul.
Menurut Kepala Desa (Kades) Surowiti HM. Sonhaji, sampai saat ini masih ada beberapa orang yang bertapa di dalam Goa Langsih tersebut. Dulu, mereka yang bertapa itu sampai berhari-hari. Kini, pihak pemerintah desa hanya membatasi maksimal dua hari saja. ‘’Yang mengirimi makanan dan minuman untuk mereka itu juga dari kami,’’ ujarnya.
Soal mitos-mitos yang berkembang di balik tempat petilasan Sunan Kalijaga itu, Sonhaji memilih membiarkannya. Toh, setiap orang berhak menganut dan memiliki kepercayaan masing-masing. ‘’Yang jelas, kami akan terus berupaya meluruskan distorsi itu. Dengan demikian, wisata Bukit Surowiti itu tidak hanya dikenal karena kemistisannya, tapi juga keindahan alam dan nilai-nilai sejarah serta pengetahuannya,’’ jelas Sonhaji.
Tiga Masa Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah seorang putra Adipati Tuban, Haryo Tejo III atau Raden Sahur. Yang juga bergelar Tumenggung Wilatikta dari istri Retno Dumila. Lahir sekitar tahun 1450 M. Nama awalnya Raden Sahid.
Dari catatan sebuah buku berjudul Sunan Kalijaga karya Yudi Hadinata, di usia remaja Raden Sahid tumbuh menjadi jagoan. Suka bertarung. Bahkan, merampok. Dari perilaku itulah muncul sebutan berandal Lokajaya. Karena itu pula, keluarga mengusirnya. Tidak boleh pulang ke kadipaten. Raden Sahid pun melakukan pengembaraan ke mana-mana di wilayah Jawa.
Nah, salah satu di antara tempat pengembaraan tersebut adalah kawasan Bukit Surowiti. ‘’Membaca sejarah Sunan Kalijaga itu terbagi dibagi menjadi tiga masa. Yakni, masa pengembaraan, lalu menjadi wali, dan setelah jadi wali. Nah, Sunan Kalijaga menetap di Surowiti ketika sebelum jadi wali dan masa-masa awal jadi wali,” jelas Sonhaji.
Dalam sejarahnya, Surowiti memang menjadi kawasan tertutup. Dikelilingi hutan. Bukan tanpa alasan Sunan Kalijaga menetap di Surowiti. Selain menyebarkan Islam, juga menjadi tempat mengatur strategi. Yakni, bagian dari masa-masa persiapan berdirinya kerajaan Islam Demak Bintoro.
Selain sakti, Sunan Kalijaga juga cerdas dan ahli strategi. Nah, di masa itu ada seorang punggawa Kerajaan Majapahit. Namanya, Raden Bagus Mataram. Orangnya kaya-raya. Ternyata, dia tertarik dengan cara dakwah Sunan Kalijaga. Akhirnya, menjadi pengikut Sunan Kalijaga.
‘’Raden Bagus pun menetap di Surowiti. Sekaligus membawa semua hartanya berupa emas berpeti-peti sebaga bagian dari persiapan kerajaan Demak Bintoro,’’ jelas Sonhaji.
Sebagai seorang punggawa kaya, Raden Bagus pun menceritakan kelebihan dan kelemahan Majapahit, akhirnya kerajaan Hindu itu runtuh. ‘’Jadi Raden Bagus itu juga berperan memberi informasi berharga kepada Sunan Kalijaga pada masa-masa menjelang berpindahnya kekuasaan Majapahit ke Demak,” sambungnya.
Makam Raden Bagus itu pun ada di Bukit Surowiti. Saat menyusuri area perkampungan warga di Bukit Surowiti, pengunjung pun dapat dengan mudah melihat lokasi pesareannya. Sebab, pihak desa memberikan papan penunjuk arah.
‘’Bisa jadi dari cerita tentang kekayaan Raden Bagus Mataram itulah muncul distorsi. Sebagian orang menganggap, Bukit Surowiti sebagai tempat pesugihan,’’ ujarnya.
Sonhaji lantas melanjutkan cerita betapa Sunan Kalijaga itu sosok cerdas dan memiliki strategi siyasah yang tinggi. Demak di era pemerintahan Raden Fattah, masih kesulitan saat melawan Majapahit, Sunan Kalijaga menempuh cara diplomasi. Yakni, menarik Empu Supo dan Adipati Terung, yang menjadi pilar Majapahit untuk bergabung dengan pasukan Demak.
Tidak sulit mengajak Adipati Terung untuk bergabung. Sebab, dia memang muslim dan saudara kandung Sultan Demak sendiri. Tapi, tidak demikian dengan Empu Supo. Salah seorang putra panglima tentara Majapahit itu disebut memiliki keyakinan Hindu yang kuat. Berkat kelihaian Sunan Kalijaga, akhirnya Empu Supo masuk Islam. Ikut menyeberang ke Demak.
Untuk mengukuhkan pertalian itu, Sunan Kalijaga lantas menikahkan adik kandungnya yang bernama Dewi Rosowulan dengan Empu Supo. Setelah tokoh-tokoh Majapahit itu bergabung, maka Demak dapat mengalahkan Majapahit sebagai kerajaan Hindu terbesar di Nusantara kala itu.
Sama dengan Raden Bagus Mataram, Empu Supo juga dimakamkan di Bukit Surowiti. Artinya, bukit kecil di sisi selatan dan timur Panceng tersebut pernah menjadi bagian proses Islamasisi di masa Walisongo. Jadi satu tempat mengatur strategi. ’’Dari situ kita bisa belajar bahwa para Walisongo dalam berdakwah tidak cukup dengan pendekatan budaya atau kultural. Namun, juga lewat struktural kekuasaan,” ujar Sonhaji.
Karena itu pula yang melatari Sonhaji menjadi kepala desa. Sudah tiga periode. Dengan kekuasaan di tingkat pemerintah desa itu, dia berharap misi turut dakwah terasa lebih efektif. Setiap saat, dia mengaku selalu menyampaikan ajaran Sunan Kalijaga. Termasuk saat peringatan Agustusan atau di acara resmi lainnya.
‘’Juga, meluruskan sejarah tentang Surowiti agar tidak berbelok. Semoga terus tertanam di masyarakat sampai ke generasi selanjutnya,’’ tegasnya
Namun, mesti berhati-hati dengan kekuasaan. Sebab, meski diniatkan dakwah, dalam sejarahnya ternyata berujung perang saudara setelah kerajaan Demak Bintoro terbentuk. Juga, karena perebutan kekuasaan.
Yang jelas, kekuasaan itu bak sebilah pisau. Jadi sumber kemanfaatan besar bila digunakan dengan baik. Sebaliknya, bila disalahgunakan akan menimbulkan kemudaratan yang luar biasa.
Membuka Serat Linglung
Lereng Bukit Surowiti makin gelap. Tapi, segelap-gelapnya malam, malam terkadang menghasilkan bintang yang bercahaya. Demikian juga obrolan di ruang tamu kepala Desa Surowiti itu, jelas menjadi cahaya pengetahuan baru. Ditemani secangkir kopi, Sonhaji melanjutnya kisah panjangnya.
Dia kemudian izin masuk ke rumah. Sonhaji terlihat mengambil sebuah buku. Yang tampak lusuh dan kuno. ‘’Ini kitab yang ditulis Kanjeng Sunan Kalijaga. Namanya serat linglung. Sampeyan termasuk beruntung karena biasanya tidak semua bisa berkesempatan melihat ini, termasuk tokoh penting sekalipun’’ katanya kepada Jawa Pos.
Kitab Serat Linglung itu kira-kira setebal Alquran. Warna kertasnya kecoklatan. Bahannya bukan dari kertas. Namun, dari kulit hewan. Jawa Pos pun memegangnya. Ternyata, memang bukan kertas.Tipis sekali. Tulisan di dalam lembaran-lembaran kulit itu bahasa Jawa. Yang ditulis menggunakan huruf Arab pegon.
Sonhaji membacakan tulisan dalam kitab tersebut. Lalu, menerangkannya dalam bahasa Indonesia. Dia mengaku bisa memahami sebagian ajaran dari kitab itu setelah belajar dan berdiskusi dengan banyak tokoh. Sebut saja di antaranya ada nama Emha Ainun Najib (Cak Nun) dan sejumlah guru besar UIN Sunan Ampel.
Dia mencontohkan bagaimana dalam kitab itu Sunan Kalijaga mengajarkan ilmu pertanian dengan membuat filosofi yang memanfaatkan alat-alat pertanian yang biasa digunakan masyarakat. Filosofi Pacul, misalnya. Setelah petani membajak maka masih ada sisi-sisi tanah di sudut sawah yang belum terbajak. Artinya, bagaimanapun setelah cita-cita tercapai, masih terdapat kekurangan-kekurangannya.
Lalu, pacul terdiri dari tiga bagian. Yakni, paculnya sendiri yang merupakan singkatan dari ngipatake kang muncul. Artinya, dalam mengejar cita-cita tentu banyak godaan yang harus disingkirkan. Lalu, bawak singkatan dari obahing awak atau menggerakkan badan. ‘’Maksudnya, semua godaan yang ada harus dihadapi dengan kerja keras,’’ jelasnya.
Kemudian, doran yang merupakn singkatan dari dedongo ing Pangeran atau berdoa kepada Tuhan. Dalam upaya mengejar cita-cita, tentu tidak cukup mengandalkan kerja keras secara fisik saja. Namun, perlu disertai doa kepada Allah SWT.
Saat Jawa Pos bertanya mengapa kitab Serat Linglung itu tidak diterjemahkan kemudian diajarkan terbuka? ‘’Tidak semua masyarakat awam bisa dengan mudah memahaminya. Karena belum memahami itu, bisa-bisa malah dianggap sebagai ajaran menyimpang. Sebab, ilmu Sunan Kalijaga itu sudah sangat tinggi,’’ ungkapnya.
Tidak seperti Walisongo lain seperti Sunan Bonang atau Sunan Giri, dalam menyebar agama Islam, Sunan Kalijaga tidak dengan cara membangun sebuah perguruan di tempat tinggalnya. Tapi, dengan mengembara. Terutama ke beberapa wilayah di tanah Jawa. Menempuh jalan lain. Mengajak masyarakat yang kala itu masih kuat dalam beragama Hindu, Budha atau animisme. Termasuk melalui wayang itu.
Sejarah memang terkadang muncul banyak versi. Begitu juga tentang Sunan Kalijaga. Selain Surowiti, ada yang menyebut Kadilangu, Surabaya, Tuban, dan sejumlah daerah lain. Namun, sejarah bukanlah beban ingatan, melainkan penerangan jiwa. Belajarlah dari masa lalu, hidup untuk hari ini, harapan untuk hari esok, seperti kutipan Albert Einstein. (*)