RENCANA penundaan pemilu mulai memenuhi perbincangan publik dalam beberapa pekan terakhir. Tak main-main, tiga ketua umum parpol yang langsung menyuarakan hal tersebut. Dalihnya adalah Indonesia mengalami banyak cobaan dalam beberapa tahun terakhir, seperti pandemi Covid-19, bencana alam, dan kelesuan ekonomi. Mereka bilang, saat ini merupakan fase pemulihan dari pandemi, baik secara kesehatan maupun ekonomi. Oleh sebab itu, penundaan 1–2 tahun pemilu merupakan sebuah keharusan.

Alasan tersebut tentu saja mengada-ada. Sebab, tak ada keadaan genting yang mendesak yang membuat pemilu harus ditunda. Contoh tunda pemilu setelah pemilu pertama 1955 di mana ada pemberontakan DI/TII, PRRI, dan Permesta. Selain itu, apabila ingin menggunakan alasan pandemi, pemerintah toh juga menyelenggarakan pilkada serentak pada 2020 di tengah varian Alfa yang sangat ganas dan belum adanya vaksin.

Sebenarnya, wacana tiga periode Presiden Jokowi dan menunda pemilu sudah berlangsung paling tidak sejak 2020 dari beberapa petinggi partai. Pada 2020 dan 2021, Jokowi tegas menolak. Sementara pada 2022, Jokowi tak lagi memiliki jawaban mantap untuk menolaknya. Hal ini kemudian diinterpretasikan, Jokowi membuka jalan untuk menunda pemilu atau menambah periode jabatan melalui amandemen konstitusi. Musababnya, bila tak mengubah konstitusi, penambahan masa jabatan dan penundaan pemilu itu membuat pemerintah Jokowi menjadi inkonstitusional.

Lebih lanjut, pernyataan ambigu Jokowi membuat beberapa pemimpin partai politik langsung mengambil posisi kuda-kuda bersiap mendukung wacana tersebut. Publik sangat wajar merasa khawatir bila wacana itu bergulir dan sampai dibahas di legislatif. Walaupun tak seperti UU IKN –hanya satu partai yang menolak–, lobi-lobi politik di belakang layar patut diwaspadai. Bila segalanya menyangkut kepentingan partai politik dari elite, semua dapat berlangsung dengan sangat cepat –layaknya UU IKN.

Komposisi politik saat ini, ada tiga partai dengan total 187 kursi di DPR yang ingin menunda pemilu. Sedangkan, ada enam partai yang menolak dengan 369 kursi dan satu partai abstain. Jika anggota MPR berjumlah 711, hanya diperlukan 50 kursi lagi bagi para pendukung penundaan pemilu untuk dapat mengajukan amandemen konstitusi, yaitu 1/3 atau 237 anggota MPR saat ini.

Rakyat lagi-lagi tak dilibatkan suara dan kepentingannya. Para elite dan pimpinan partai politik akan memilih-memilih suara rakyat yang sama dengan kepentingannya. Dan bahkan membayar agar rakyat berbicara sesuai kepentingannya untuk menjadi bahan legitimasi. Bahkan, terungkap laporan bahwa ada koordinasi dari Luhut Binsar kepada para pimpinan partai untuk mengonsolidasikan barisan dan suara untuk mendukung penundaan pemilu. Ini semakin jelas, penundaan pemilu melalui amandemen konstitusi merupakan agenda elite politik dan ekonomi (oligarki).

Penghancuran Demokrasi dari Dalam

Tentu saja, wacana penundaan pemilu itu harus ditolak. Tak hanya tidak mewakili publik dan mengangkangi konstitusi, tetapi mempertaruhkan nasib demokrasi Indonesia. Menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018), salah satu faktor jalan kematian demokrasi suatu negara justru adalah pihak pemerintah yang terpilih melalui sistem yang demokratis.

Hal itu ditandai dengan melemahkan oposisi, memilih penegak-penegak hukum yang berasal dari partainya atau koalisi. Dengan demikian, penguasa akan dengan mudah membuat regulasi atau aturan-aturan yang dapat melindungi kekuasaannya dari kritik pihak oposisi. Lalu, melemahkan tugas, fungsi, dan peran penegak hukum. Selanjutnya adalah ’’mengakali’’ hukum dan aturannya; penundaan pemilu dan amandemen merupakan salah satu contoh yang tepat dalam hal ini.

Bila sudah demikian, negara dapat berubah menjadi monster yang amat kuat (despotic leviathan state), sedangkan masyarakat menjadi sangat lemah. Hal itu menandai masuknya otoritarianisme. Padahal, amandemen merupakan hasil jerih payah reformasi yang tak sedikit mengorbankan darah, air mata, dan nyawa rakyat Indonesia. Pada masa itu, perombakan konstitusi gencar dilakukan. Dengan tujuan untuk menciptakan iklim bernegara yang demokratis dan berorientasi kepada rakyat. Sebab, sebelumnya, rakyat terbelenggu dalam praktik otoritarianisme ala Orde Baru.

Demokrasi itu layaknya berjalan di atas koridor yang sempit, baik rakyat maupun negara harus seimbang membagi jalan masing-masing. Bila negara terlampau kuat, akan terjadi otoritarianisme. Bila sebaliknya, akan terjadi konflik horizontal terus-menerus (Daron Acemoglo & James A. Robinson: 2019).

Saya meyakini untuk mengimbangi negara yang semakin kuat, diperlukan rakyat yang kuat pula. Dalam konteks ini, yang bisa dilakukan rakyat adalah pengorganisasian diri, baik dalam melawan wacana penundaan pemilu maupun melalui unjuk rasa menyatakan sikap.

Saya yakin sebagian besar aktivis 1998 menolak wacana tersebut. Selain itu, generasi yang lahir pascareformasi –mahasiswa yang merupakan anak-anak mereka– juga akan banyak melakukan penolakan dengan hal itu. Sehingga dua generasi bertemu untuk melakukan penolakan yang sama. Hal ini tentu akan menimbulkan gejolak dan instabilitas politik dan ekonomi yang besar bagi pemerintahan Jokowi. Pemerintahan Jokowi harus menghitung hal ini.

Selain itu, polarisasi di masyarakat pun akan semakin mengental. Para pendukung penundaan pemilu atau penambahan masa jabatan Presiden Jokowi akan berhadapan dengan pendukung Jokowi yang menolak dan mereka yang selama ini disebut anti-Jokowi serta aktivis prodemokrasi lainnya. Kesatuan Indonesia menjadi taruhannya. Padahal, kampanye persatuan Indonesia sangat digalakkan oleh pemerintahan Jokowi.

Rakyat memerlukan politik dan pemerintahan yang berpihak kepada dirinya, bukan kepada elite politik dan ekonomi. Penambahan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu jelas tak mewakili kepentingan rakyat. Saat ini rakyat tak memerlukan amandemen konstitusi, tetapi membutuhkan komitmen pelaksanaan konstitusi yang sungguh-sungguh dari pemerintah.

Dalam berkuasa, pemerintah mestinya tak hanya berpikir apa dan bagaimana kekuasaan dibangun dan dijalankan, tetapi juga ingin diingat sebagai pemerintah yang apa? Apakah pemerintah yang menguatkan demokrasi atau melemahkan demokrasi? Sejarah yang akan menjawab. (*)


*) VIRDIKA RIZKY UTAMA, Peneliti PARA Syndicate

By admin