Pemkot Surabaya punya puluhan ribu kader yang diambil dari unsur masyarakat. Tugasnya banyak, seperti menjadi penyambung lidah informasi dan membantu jalannya program masyarakat. Meski pekerjaan sukarela, banyak yang betah, bahkan bertahan belasan tahun. Mereka menyebut pengabdian itu panggilan hati.

DIMAS NUR APRIYANTOGALIH ADI PRASETYO, Surabaya

KALAU di dunia penerbangan, mungkin Melik Masfiatin sudah mendapat gelar kapten. Jam terbangnya tinggi dalam berurusan dengan masyarakat. Mulai soal lingkungan, sosial, hingga kesehatan. Sejak 2015, Melik terjun menjadi seorang kader. Hingga sekarang total ada tujuh posisi kader yang dia emban.

”Mulai dari kader lingkungan, posyandu, jumantik, pospindu, KPM, KIM, dan yang terakhir pendekar biru. Kami kan sekarang sudah dilebur menjadi kader Surabaya Sehat. Namun, tugasnya masih sama,’’ ujar ibu tiga anak itu.

Menjadi kader, bagi Melik, adalah sebuah ketidaksengajaan. Acap kali apa yang kini diembannya itu tiba-tiba datang. Misalnya, diminta menggantikan kader yang mengundurkan diri.

”Bagi saya, menjadi kader adalah panggilan hati. Ada sisi senangnya. Banyak ketemu orang dan kenal orang. Tapi, susahnya juga ada. Misal, sering dipaido (dicemooh) orang,’’ kelakar Melik.

Apalagi saat menjadi kader pendekar biru. Tugasnya mengedukasi masyarakat soal Covid-19 dan vaksin. Dia dituduh sebagai penyebar konspirasi pemerintah hingga mengada-ada soal varian baru.

”Ya bagaimana, dengan orang seperti ini tidak bisa saklek. Harus pelan-pelan menjelaskan. Sebab, apa pun yang kita katakan pasti dianggap negatif,’’ ujar salah seorang motivator LSM Wahana Edukasi Harapan Alam Semesta (Wehasta) itu.

Terpisah, ditemui beberapa waktu lalu di kawasan Dupak, Dini, salah seorang kader kesehatan, mengungkapkan, dirinya merasa sedih begitu mendengar rumor bahwa kader kesehatan bakal dikurangi.

Dini mengenang momen-momen manis ketika berkumpul bersama kader lainnya. Misalnya, harus menerjang rintik hujan saat menjalankan amanah sebagai kader kesehatan. ”Di Dupak ini ada boezem. Ukurannya besar, kami harus melewati boezem itu hanya untuk pekerjaan sebagai kader,” kenangnya.

Dia berharap pemkot mendengarkan suara hati para kader. Menurut dia, betul memang tidak ada yang dikurangi. Tapi, Dini menyayangkan sikap pemkot dengan kebijakan pembayaran honor Rp 400 ribu. Dan hanya koordinator kader yang dibayar. Itu pun yang dibayar tidak semua.

Para kader diminta membagi honor yang didapat sesuai ”adat”. Di Dupak, koordinator membagi honor kepada seluruh jumlah kader. Misal, di RT ada 7 kader. Yang menerima honor hanya 3 orang di RT tersebut. Maka, Rp 1.200.000 (belum dipotong pajak) dibagi sesuai jumlah kader.

Dini mengungkapkan, dirinya dan para kader lebih nyaman jika sistem pembayaran honor dikembalikan seperti dulu. Yakni, per kegiatan Rp 28.200 untuk satu kader. ”Saya dan kader lain tidak ada sirik-sirikan. Berikan rasa adil itu ke kami,” imbuhnya.

Dia iba pada teman-teman kader lain yang telanjur mengambil cicilan handphone. Sebab, sejak pemkot meresmikan aplikasi Sayang Warga, beban kerja kader bertambah. Salah satunya, memasukkan data masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ke aplikasi.

Terpisah, Novi, salah seorang kader kesehatan di Sambiarum, Sambikerep, juga mengeluh. Kini pasukan kader di wilayahnya berkurang. Sebab, beban kerjanya bertambah berat. ”Per Maret ini, ada 7 dari 33 kader yang mundur,” katanya.

Menurut dia, jika pemkot mau menaikkan honor kader, cukup Rp 50 ribu. Tak perlu sampai Rp 400 ribu, tapi beban kerjanya di luar akal sehat.

By admin