JawaPos.comAnak putus sekolah masih menjadi fenomena di Surabaya. Di lingkungan RW 4, Kelurahan Tanah Kali Kedinding, Kenjeran, misalnya. Sebanyak enam anak tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Impitan ekonomi serta kurangnya perhatian dari orang tua menjadi salah satu penyebabnya.

Contohnya, yang dialami Trilaksono. Warga Jalan Tanah Merah Indah Gang 4 itu sudah dua tahun ini putus sekolah. Terakhir, dia duduk di kelas VII MTs swasta. Bekerja sebagai tukang bangunan, orang tua tidak sanggup menutupi biaya sekolah.

Ditambah lagi, bocah berusia 15 tahun itu kerap di-bully oleh teman sekelasnya. Penyebabnya, dia kerap berdiam diri. Dia lebih suka bermain game online dibandingkan harus membaur atau bermain dengan teman sekelasnya.

”Malu enggak bisa bayar sekolah, jadi sering bolos dan akhirnya sekolah enggak bisa berlanjut,’’ kata Trilaksono di Yayasan Sohibul Yatim Surabaya (YSYS) di Jalan Tanah Merah I, Kamis (10/3).

Sudah dua tahun Trilaksono tidak bersekolah. Dia mengisi waktu dengan bekerja serabutan. Di antaranya, menjadi tukang bangunan dan jasa pengantar barang. Uang hasil bekerja digunakan untuk makan sehari-hari. Sebab, dia jarang sekali meminta uang kepada orang tua.

Sekretaris RW 4 Kelurahan Tanah Kali Kedinding Fadeli mengatakan, enam anak terpaksa putus sekolah. Impitan ekonomi menjadi faktor utama. Tidak mau pasrah pada keadaan, pihaknya berinisiatif menggalang dana secara swadaya. Caranya, menyisihkan sebagian uangnya untuk disumbangkan. Namun, banyaknya biaya yang dibutuhkan membuat pihaknya belum bisa menyekolahkan kembali mereka.

Dari enam orang, baru satu anak yang berhasil kembali disekolahkan. ”Baru satu yang kembali bersekolah. Yaitu, Nabila. Setelah lulus SD, dia tidak bisa melanjutkan ke SMP. Dan setelah menunggu setahun, hari ini (kemarin) Nabila sudah kembali sekolah,’’ ucap dia.

Sambil menunggu dana terkumpul, pembinaan diberikan. Mulai mengaji, pelatihan komputer, hingga beberapa pembelajaran formal yang terdapat di sekolah.

Fadeli berharap pemkot bisa bertindak cepat untuk menangani persoalan yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Sebab, jika hanya mengandalkan dana swadaya masyarakat, dinilai tidak akan cukup menutupi biaya sekolah mereka.

Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur Isa Ansori mengatakan, pada masa pandemi Covid-19, puluhan anak Surabaya putus sekolah. Jumlahnya mencapai 23 orang pada 2021. Kebanyakan tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMP. Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuat banyak orang tua tidak sanggup menutupi biaya sekolah.

Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya Anna Fajriatin menyatakan segera melakukan pengecekan terhadap yang bersangkutan. Dengan demikian, pihaknya bisa mengetahui penyebab mereka putus sekolah.

Apakah mereka tergolong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) atau ada penyebab lain mereka putus sekolah di luar faktor ekonomi. 

By admin