Lennon Diabadikan di Liverpool, Kenapa Gombloh Tak Jadi Nama Jalan di Surabaya?

Hidup yang banyak dihabiskan di jalanan membuat Gombloh konsisten menyampaikan kritik dalam karyanya, sekalipun itu lagu cinta. Sang anak sempat mengumpulkan para penggemar setia, sayang terhadang pandemi.

RETNO DYAH A.-W.Z. BUSTOMI, Surabaya

JAUH sebelum Dewa 19 dan Padi, lebih jauh lagi sebelum Silampukau, Astrid, serta Sara Fajira, ada Gombloh. Dengan tubuh kurus, rambut gondrong dikucir, baju lusuh, dan gitar kopong yang seperti tak pernah turun dari pundaknya, lagu-lagunya turut menempatkan Surabaya di peta musik nasional.

Kebyar-Kebyar barangkali satu-satunya ”jembatan penghubung” anak-anak sekarang dengan musisi kelahiran Jombang, Jawa Timur, tersebut. Itu juga kalau mereka tahu bahwa pencipta dan penyanyi ”lagu kebangsaan kedua” tersebut adalah penyanyi bernama lahir Soedjarwoto itu.

Padahal, di luar Kebyar-Kebyar, dalam usia kariernya yang terbilang tak panjang, Gombloh yang meninggal pada 9 Januari 1988 punya banyak sekali hit lain.

Kugadaikan Cintaku dan Berita Cuaca di antaranya.

”Bahkan dalam lagu cinta seperti Kugadaikan Cintaku pun, Gombloh tetap menyertakan kritik tentang kesetiaan,” ucap Guruh Dimas Nugraha, penulis buku tentang Gombloh berjudul Revolusi Cinta dari Surabaya, kepada Jawa Pos.

Gombloh memang pendongeng dari jalan. Hidupnya dihabiskan di jalanan. Mengamen di sudut-sudut kota. Karena itu, lirik-liriknya sederhana, tapi sarat kritik yang berangkat dari keseharian yang dia lihat, rasakan, dan jalani.

”Latar keluarga Gombloh yang jadi faktor penting sifat kerakyatannya,” tutur Dhahana Adi Pungkas, sosiolog dan pengamat budaya Surabaya.

Gombloh lahir dan tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya pedagang ayam potong di pasar yang harus menghidupi enam anak. Meski dilahirkan di Jombang, Gombloh lebih banyak menghabiskan hidup di Surabaya.

Gombloh bersetia dengan kritik meski jelang akhir hidupnya lagu-lagunya bisa dibilang lebih berasa komersial. Memang dia tidak sendirian. Tapi, menurut Dimas, belum ada yang mampu menyamai keberanian ayah satu anak itu dalam menyampaikan kritik. ”Untuk musisi sepantarannya, kalimat-kalimat Gombloh itu tanpa tedeng aling-aling,” ujar pria yang akrab disapa Ipung tersebut.

Simak saja Berita Cuaca: Mengapa tanahku rawan kini//Bukit-bukit pun telanjang berdiri//Pohon dan rumput enggan bersemi kembali.

Kritiknya disampaikan terang-terangan. Tak hanya kepada warga yang melakukan penggundulan hutan. Tetapi juga mereka yang berkuasa yang membiarkan perusakan lahan terjadi.

”Dua hal itu yang melatarbelakangi lagu Berita Cuaca. Dan dia terang-terangan menjelaskan itu saat ditanya. Tanpa malu-malu atau pakai kata-kata kiasan,” kata Dimas.

Perlu diingat, itu pada 1980-an, saat Orde Baru sedang kuat-kuatnya. Dan, mengkritik dalam bentuk apa pun sangat mengundang risiko.

Gombloh menikah dengan Wiwik dan membuahkan Remy Wicaksono yang lahir pada 1984. ”Sejak itu Gombloh mulai mikir untuk cari uang dengan serius. Harus menghidupi anak dan istri,” imbuh Dimas.

Meski begitu, hidupnya tak lepas dari lingkungan sekitarnya. Uang hasil konser tetap sering habis di kota tempat konser tersebut dihelat ketimbang dibawa pulang ke rumah di Surabaya. Entah untuk membelikan makan tukang becak atau membelikan pakaian bagi pemulung.

Pardi Atin, gitaris yang kerap mengiring Gombloh di panggung, ingat betul Kugadaikan Cintaku yang dirilis pada 1985 melambungkan nama sahabatnya tersebut. Job manggung mengalir dari mana-mana.

Dia yang sebelumnya tinggal di Surabaya akhirnya harus pindah ke Jakarta. ”(Tapi) Gombloh di sana (Jakarta, Red) tidak kerasan,” ucapnya.

Pardi juga mengenang, meski sangat menguasai panggung saat tampil, Gombloh aslinya kurang percaya diri. Saat mulai manggung, dia sering menyuruh Pardi masuk duluan. ”Saya juga nggak tahu kenapa kok surung-surungan (dorong-dorongan),” ujar Pardi, lantas terbahak.

Kedermawanan Gombloh juga melegenda. Kepada berbagai kalangan yang dia akrabi sehari-hari. Tak terkecuali para pekerja seks komersial. Dia, misalnya, pernah bagi-bagi pakaian dalam untuk mereka di sebuah kawasan prostitusi Surabaya.

”Dia punya mimpi mewujudkan cinta di dunia tanpa prostitusi,” kata Dimas.

Sejumlah lagu Gombloh lahir dari kisah PSK yang dituturkan kepadanya. Jamilah, Tiwuk Blues, dan Lagu untuk Monika di antaranya. Dia meyakini tak ada orang yang memang sengaja hidup untuk menjadi PSK.

”Itu juga yang membuat kita nggak boleh membeda-bedakan orang. Kita nggak pernah tahu apa yang dilalui seseorang,” ucap Remy kepada Jawa Pos.

Tak banyak interaksi yang diingat Remy karena dirinya masih berusia 4 tahun saat ditinggal sang ayah. Tapi, begitu banyak cerita yang dilontarkan orang-orang tentang Gombloh.

Remy dan Eriani, istrinya, kini berusaha menghidupkan lagi kenangan-kenangan Gombloh. Sejak 2019, keduanya mengumpulkan penggemar dari berbagai wilayah. ”Baru sekali gathering akbar. Sayangnya, setelah itu sudah kena pandemi,” tutur Eri.

Pertemuan itu seakan jadi obat rindu bagi banyak orang. Kritik dalam lagu-lagu Gombloh disebut tak lekang dimakan zaman. Totalitasnya dalam bermusik juga dinilai belum ada yang bisa menyamai.

Music Director Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya Pataka Swahara Sanja menyebut Gombloh termasuk musisi yang karyanya dipindahformatkan. Total ada 2.224 vinyl yang kini direstorasi RRI.

Piringan hitam berisi master lagu itu diubah ke format digital sehingga bisa didengarkan semua orang. ”Kami buatkan big data isinya arsip band lawas,” katanya.

Gombloh juga dikenal sebagai musisi yang bisa menulis lagu di mana saja, di toilet sekalipun. Kalau sekadar menggumamkan nada atau menulis lirik, dia bisa menuntaskannya dalam 30 menit. Tapi, menyelami kehidupan seseorang sebagai inspirasi, Gombloh melakukannya setiap hari seumur hidupnya.

”Gombloh tidak ujug-ujug datang kenalan, kemudian menjadikan kisah seseorang itu lagu. Tapi menjadi relasi, teman ngobrol beneran,” jelas Dimas. Lagu-lagu dengan nama orang dan kisah asli itu diambil dari orang-orang yang memang dekat dengan Gombloh. Kemampuannya menyentuh seseorang, mengolah kisah, dan menyampaikan kritik membuat musikalitas Gombloh sulit tergantikan.

Gombloh bahkan jadi musisi pertama yang melagukan naskah sejarah dari sastra Jawa kuno. Yaitu, Serat Wedhatama lewat lagu Hong Wilaheng (Sekareng Bawono). Bagi Dimas, itu nyeleneh dan genius.

Karena itu, bertepatan dengan momen Hari Musik Nasional hari ini, Dimas menyayangkan kalau Gombloh seperti terlupakan. ”Padahal, lagu Kebyar-Kebyar, misalnya, sudah seperti jadi lagu nasional yang rutin dinyanyikan,” katanya.

Gombloh layak diabadikan lebih dari saat ini. Patung perunggu saja tak cukup. Apalagi ditempatkan di kompleks Tugu Pahlawan, lokasi yang tak punya kenangan erat dengan Gombloh.

”Saya rasa wacana diletakkan di Balai Pemuda itu bagus sekali. Karena bapak lebih banyak menghabiskan waktu di sana untuk berkarya,” ucap Remy.

Dimas menyebut Gombloh perlu diabadikan sebagai nama jalan atau bahkan nama lokasi penting di Kota Surabaya. ”John Lennon saja jadi nama bandara di Liverpool lho,” tutur alumnus FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, itu.

By admin