JawaPos.com – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK lantaran diduga melakukan pelanggaran kode etik terkait hymne dan mars KPK.

Menanggapi hal tersebut, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan hymne dan mars tersebut tidak melanggar aturan. Apalagi sudah mendapatkan hak cipta dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Sehingga pemberian hak cipta merupakan bukti tidak ada pelanggaran hukum dari hymne dan mars KPK.

“KPK melalui biro hukum dan inspektorat juga telah melakukan validasi dan pemeriksaan, diantaranya kepada pihak pencipta lagu, untuk memastikan bahwa proses ini sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku,” ujar Ali kepada wartawan, Rabu (9/3).

Menurut Ali, pelapor yang mempermasalahkan soal hibah dalam pembuatan lagu itu. KPK menegaskan tidak ada yang salah dengan hibah lagu karena ditujukan untuk instansi bukan perorangan.

“Hibah tersebut juga gratis, tidak ada pembayaran atau penggantian biaya penciptaan lagu yang harus dibayarkan KPK kepada penciptanya,” katanya.

Namun demikian, Ali mengungkapkan KPK menyerahkan Dewas KPK untuk menindaklanjuti laporan. KPK tidak mau mengintervensi kinerja Dewas dalam memproses laporan masyarakat.

“Kami yakin, setiap pemeriksaannya pun akan dilakukan sesuai fakta dan penilaian profesionalnya,” ungkapnya.

Sebelumnya, Salah satu Alumni Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi (AJLK) 2020, Korneles Materay melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri ke Dewan Pengawas lembaga antirasuah.
Korneles melaporkan Firli Bahuri atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku pimpinan KPK. Laporan ini karena jenderal bintang tiga tersebut telah memberikan penghargaan kepada Ardina Safitri sebagai pencipta hymne KPK. Padahal Ardina Safitri adalah istri dari Firli Bahuri.

“Hubungan suami istri ini kami pandang kental dengan nuansa konflik kepentingan. Tak hanya itu, proses penerimaan hymne KPK sebagai hibah juga berpotensi melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujar Korneles Materay.

Menurut Korneles, penunjukkan dan pemberian penghargaan kepada Ardina Safitri sebagai pencipta hymne KPK, terdapat dua permasalahan yang penting. Pertama, peristiwa itu jelas menggambarkan benturan konflik kepentingan. Benturan konflik kepentingan ini disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 (PerKom 5/19) tentang Pengelolaan Benturan Kepentingan di KPK.

Dua regulasi itu pada dasarnya menjelaskan bahwa konflik kepentingan terjadi saat keputusan yang diambil oleh seorang pejabat publik berkaitan erat dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga berpengaruh terhadap netralitas keputusan tersebut. Penjelasan ini membuat pelanggaran yang dilakukan Firli semakin terang. Sebab, pihak yang ditunjuk dan diberikan penghargaan merupakan istrinya sendiri.

Kedua, diduga Firli tidak mendeklarasikan konflik kepentingan dalam pembuatan hymne KPK tersebut. Deklarasi tersebut diatur dalam PerKom 5 Nomor 19 yang isinya mewajibkan setiap Insan KPK untuk memberitahukan kepada atasannya. Dalam konteks ini, seharusnya Firli mendeklarasikannya kepada komisioner lain dan Dewan Pengawas. Peristiwa ini juga menggambarkan ketiadaan mekanisme check and balance di internal KPK.

Berdasarkan rangkaian kejanggalan tersebut, patut diduga tindakan Firli melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 6 ayat (2) huruf a, Pasal 7 ayat (2) huruf a, dan Pasal 8 ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020. Maka dari itu, Kornelis mendesak agar Dewan Pengawas segera memanggil, memeriksa, dan menjatuhkan sanksi kepada Firli.

By admin