JawaPos.com – Demi menuju status endemi Covid-19, pemerintah mulai melonggarkan pembatasan. Salah satunya dari mulai penghapusan karantina bagi Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) di Bali hingga tak ada lagi syarat perjalanan dengan menyertakan hasil tes PCR/antigen jika sudah vaksin lengkap dua dosis.
Menanggapi situasi ini, Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai semestinya sebelum menetapkan kebijakan itu, pemerintah mempertimbangkan sejumlah indikator.
Sedikitnya ada 3 hal, yakni cakupan vaksinasi yang memadai, angka reproduksi rate dan positivity rate, hingga angka kematian yang rendah. Indonesia berada pada posisi cakupan vaksinasi 1 dosis yakni sebesar 70,2 persen dan vaksinasi 2 dosis 54,1 persen hingga vaksinasi 3 dosis 4,7 persen.
Sedangkan angka positivity rate harian nasional per 8 Maret 2022 yakni masih 13,27 persen dan mingguan 15,47 persen. Lalu angka kematian bahkan per 8 Maret 2022 mencapai rekor selama gelombang Omicron yakni 401 jiwa sehari.
“Sementara yang dikatakan memadai dalam merespons Omicron, vaksinasi 2 dosis seharusnya sudah 90 persen dan vaksinasi 3 dosis atau booster harusnya sudah 50 persen. Itu baru dikatakan dalam kategori relatif aman,” jelasnya kepada JawaPos.com, Selasa (8/3).
“Dan angka reproduksi harus di bawah 1. Tes positivity rate harus di bawah 1 persen. RS harusnya tak ada pasien lagi. Kalau memang ada BOR ya di bawah 10 persen. Dan angka kematian itu harusnya di bawah 1 persen. Atau setidaknya kasus kematian di bawah 5 per satu juta atau per 100 ribu penduduk,” tambah Dicky.
Lalu setelah 3 indikator tersebut, selanjutnya ada di sisi kesiapan individu atau masyarakat dan lingkungan. Misalnya, masyarakat tetap wajib memakai masker dan mengubah budaya kehidupan new normal.
“Misalnya kalau merasa demam enggak perlu masuk kerja, jadi ada budaya baru. Jika sudah kontak erat maka lakukan isoman, karantina mandiri. Lalu juga di perkantoran, kualitas udara harus membaik. Ruangan harus dengan AC hepa filter, pertukaran udaraluar dan dalam. Ini semua harus disiapkan,” katanya.
Karena itu, dengan berlakunya status pandemi Covid-19, masalah pembiayaan pasien Covid-19 menjadi tanggungan pemerintah selama ini. Akan tetapi jika nanti dalam masa transisi atau status endemi akan diberlakukan, maka soal sistem pembiayaan harus disiapkan pula.
“Pemerintah siapkan sistem biayanya jika sudah tak menanggung pasien Covid-19. Misalnya dengan status pandemi, biaya pasien ditanggung pemerintah. Nah ketika status pandemi dicabut apakah masyarakat harus bayar sendiri, atau BPJS? Masyarakat miskin gimana?
“Ini harus disiapkan, transisi ini kan pelonggaran. Adanya pelonggaran, harusnya ada penguatan di aspek lain,” katanya.
Namun Dicky menegaskan, upaya surveilans kasus juga tetap harus ada. Testing untuk 1 persen sampling dari pelaku perjalanan harus tetap dilakukan sebagai uji sampling melihat keterwakilan angka kasus di lapangan.
“Ketika saat ini bepergian orang sudah tak pakai tes, tapi harus tetap ada penguatan di surveilans, harusnya ada sampling masyarakat bepergian 1 persen tetap dites, tapi enggak bayar. Dari 1 persen itu dilihat berapa yang positif. Nah kalau dari 1 persen eh 1 persen juga positif, ya itu rawan. Itu sebagai contoh. Sehingga oke ada pelonggaran tapi harus ada pengetatan di aspek lain,” tutupnya.