”Rusia Serang Ukraina”

JUDUL berita tersebut membuat iri warga Jatim. Kenapa poros terhormat dunia sekarang tak melalui Jatim. Malah melalui Provinsi Banten: Rusia Serang Ukraina? Enak saja! Harusnya ”Rusia Peluk Ukraina”. Peluk, kan, nama dusun di Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, provinsinya Bu Khofifah? Berita berjudul ”Rusia Pacar Ukraina” boleh juga. Pacar, kan, juga nama dusun di kecamatan dan kabupaten kelahiran Gus Dur, Cak Nur, dan Cak Nun itu.

”Rusia Terancam Ukraina”?

Kalau judul beritanya begitu, masyarakat Jatim dijamin terhibur sebab merasa dihadirkan. Terancam adalah makanan khas sekitar Kediri dan Madiun. Semacam urap. Ada kecambahnya. Kacang panjang. Daun kemangi dan sayatan halus sawi putih. Arek-arek Jawa Timur pasti bangga. Ternyata Rusia adalah terancamnya Ukraina.

”Itu trancam! Bukan terancam!” seru Jendro ke suaminya, Sastro.

”O, beda, to?”

”Beda, Mas! Mending judulnya ’NATO Tumpangi Ukraina’. Artinya, Ukraina keenakan dikasih sambal tumpang oleh geng bule-bule bersenjata itu.”

”Tumpang?”

”Semacam bumbu pecel. Dikasih campuran tempe menjelang busuk dan tempe yang masih bagus ini. Jawa Timur hadir. Karena tumpang ini banyak ditemui di Jawa Timur belahan barat.”

***

”Ah, sudahlah, Dik Jendro, biar saja poros dunia saat ini melalui provinsi anak kemarin sore, provinsi hasil pemekaran Jabar itu: Serang! Kita di provinsi dewasa Jawa Timur ini nggak perlu susah-susah kecipratan gaduhnya peperangan. Mending seperti ini saja. Jawa Timur jadi lebih damai,” tutur Sastro.

Sastro kemudian bercerita tentang seorang tuli yang ditolong seseorang sehingga bisa mendengar. Alih-alih yang tunarungu berterima kasih. Eh, ia malah ngamuk nggak karu-karuan.

”Dulu hidupku tenang! Setelah tadi kamu kulihat memegang-megang kupingku, mengorek-ngorek indra pendengaranku, kini dunia jadi terasa gaduh! Semula hidupku hening. Sekarang aku mendengar protes orang-orang di mana-mana gegara kelangkaan dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Hidupku jadi selalu ngegas. Aku tuntut kamu via jalur hukum!” seru orang ini sambil membantingi barang-barang.

Untungnya, tenaga medis ahli THT yang dilaporkan via jalur hukum tadi bukan orang biasa. Ia seperti memori-memori nonbiasa di HP, memori penting, banyak backup-nya. Konon hidupnya di-backing-i oleh Bayu, dewanya angin. Kasusnya seperti lenyap tertiup Anging Mamiri, angin yang penuh kerinduan. Rindu akan…

***

Seperti jatuh cinta perlu proses untuk tumbuh, kesebalan juga perlu proses untuk mereda. Di suatu Kamis Legi bertemulah mantan tunarungu itu dengan Sastro. Ia tak lagi membanting-banting barang-barang pecah belah. Namun, intinya sama, ia berkeluh kesah terhadap Sastro. Berkat pendengarannya yang telah pulih, kini hidupnya tidak tenang lagi.

Sastro menghiburnya. Sastro meleramkannya. ”Segaduh-gaduh yang Sampean rasakan, Sampean masih mending. Hidup di perkampungan yang tidak ada toanya. Saya ini hidup di kanan-kiri toa, depan-belakang toa. Nggak masalah tuh!”

Sepekan setelah pertemuannya dengan Sastro, kesebalan mantan tunarungu lenyap. Ia bahkan sudah lupa bahwa beberapa bulan lalu pernah menuntut ahli THT yang maksud hati ingin menolong, apa daya yang ditolong malah ngamuk-ngamuk. Dalam ungkapan bahasa Jawa dan memang betul-betul sering terungkap di kenyataan: ditulung malah mentung.

Di suatu Minggu, dengan Sastro-Jendro, si mantan tunarungu blusukan ke hutan perawan. Hampir berbagai jenis hewan mengeluarkan suara. Mereka tak terganggu satu sama lain. Siamang tak terganggu suara gajah. Macan yang mengaum tak terganggu lolong serigala dan gonggong anjing hutan. Ular yang berdesis tak terganggu lenguhan banteng maupun ringkik kuda liar.

Enam tahun kemudian mereka kembali blusukan ke hutan perawan itu lagi, merayakan tahun keenam si tunarungu pulih pendengarannya. Alangkah kaget ketiganya. Seisi hutan kini saling gelisah tak seperti dulu.

Dari teropong pemberian Putin, si mantan tunarungu melihat. Inilah penyebab kegelisahan: berbagai jenis hewan ternyata sekarang sudah dilengkapi toa. Setiap ujung belalai gajah kini ada toanya. Bila gajah mengerik, menderum, dan menggeru, suaranya membahana. Kokok ayam alas pun jadi membahana berkat toa. Begitu pula babi yang menguik, burung yang berkicau, tikus yang mencicit… Bahkan semut yang mulutnya tak bersuara jadi berisik lantaran kaki-kakinya kini sudah dilengkapi toa. Setiap mereka berbaris, derap mereka bergema berkat toa.

Siapa yang iseng mengadakan toa di kawasan hukum rimba tersebut?

***

Di ruang kelas, Jendro guru PAUD tak hendak mencari kambing hitam. Tak mendidik. Ketimbang mencari siapa penyuap toa ke para hewan, ia tantang murid-muridnya menjawab pertanyaan siapa penemu toa? ”Penemu listrik, kan, Tesla. Penemu toa?”

Tak satu pun anak-anak PAUD mampu menjawabnya. Pintu kelas terketuk. Seorang tuli muncul membawa toa. Dengan bahasa isyarat, dijelaskannya toa itu ia peroleh teronggok di Ukraina.

”Ah, sekarang kita sudah bisa menjawab, Bu Guru!” anak-anak PAUD berseru padu. ”Penemu toa adalah si om ini!!!” (*)


SUJIWO TEJO

Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

By admin