Tema seni tradisi, alam, atau pandemi memang beraroma lokal. Tapi, dengan gampang bisa ditemukan resonansinya pada beragam peristiwa serupa di berbagai daerah lain.

ANTOLOGI cerpen ini menyajikan pergulatan batin yang dialami sang penulis, Pandan Raditya Arundhati Satya, dalam kaitan dengan pengalaman keseharian. Pengalaman yang bertaut dengan berbagai peristiwa yang mengusik nalar kritisnya. Baik itu tentang seni tradisi, alam, maupun pandemi.

Dan, meskipun latar kejadian pada semua cerpen yang ditulis cerpenis muda ini (Pandu menulis antologi ini ketika masih berusia 17 tahun) bersifat lokal dan di seputaran wilayah Pacitan, Jawa Timur, tema yang diangkat beresonansi ke berbagai wilayah dan kejadian serupa lain.

Diawali dengan cerpen bertajuk Suluk Wayang Beber. Kita seolah digugah dan disadarkan kembali akan keberadaan seni tradisi yang sudah hilang dalam percakapan dan ingatan orang ramai ini.

Di satu sisi, ada tokoh Mamak yang mengusung spirit klasik dan ingin terus mempertahankan seni tradisi wayang beber dengan segala pakemnya, dengan konsekuensi makin ditinggalkan anak-anak muda. Di sisi lain, ada Aku dan Mas Panji yang ingin berinovasi dalam pementasan wayang beber dengan menggunakan teknologi. Pertentangan yang diangkat memang tidak baru. Tapi, ini sekaligus menyadarkan kita mengapa persoalan itu terus terjadi dan dengan gampang bisa ditemukan pada seni tradisi lain.

Konflik keras itu ditampilkan dalam alur cerita yang mengalir dan hidup. ”Salah! Jelas salah! Bapakmu tak pernah mengajarkan kepada siapa pun kalau wayang beber itu bisa diutak-atik. Wayang beber itu pakem. Ingat itu, Nduk! Kalian bisa kualat, Nak!” (halaman 3).

Ada pula sosok Sekartaji, perempuan yang mencoba membebaskan diri dari paksaan keadaan yang tidak seiring dengan suara hati. Sekartaji yang harus berani mengambil pilihan. Antara menjadi penyelamat kampungnya dari pembangunan yang dianggap abai terhadap keselamatan lingkungan. Atau mengambil beasiswa demi penghidupan yang lebih baik. Dua sisi itu saling berkelindan, saling berhadapan, di sepanjang alur cerita (halaman 29 dan 44).

Pandan yang lahir pada 2004 menaruh perhatian besar pada pelestarian alam. Usia mudanya, yang tentu diikuti semangat meluap, atau mungkin juga lingkungan tempat dia dibesarkan, sepertinya berperan besar pada ”garis perjuangan” di antologi ini.

Tema yang senapas dengan yang dihadapi Sekartaji bisa ditemukan pada Sendang Kali Grindulu dan Mimpiku pun Tergusur. Bahwa atas nama kemajuan, alam kerap diabaikan. Limbah pabrik dibuang begitu saja dan hutan ditebang besar-besaran.

Sekali lagi latar cerita memang di Pacitan. Tapi, dengan segera kita mengingat Wadas di Purworejo yang belum lama ini ramai jadi sorotan, misalnya. Di mana warga mati-matian melawan rencana penambangan andesit yang dianggap bisa merusak alam.

Dari Pacitan nun di ujung selatan Jawa Timur sana, keterhubungan dengan dunia juga terjalin melalui cerpen Pulang. Pandemi membuat Elzan harus memilih: pulang kampung dengan risiko menjadi pembawa wabah atau melewatkan kesempatan kali terakhir melihat wajah sang bapak sebelum disemayamkan di peristirahatan terakhir.

”Nan, aku sudah berusaha memenuhi keinginan kalian. Pulang sebagai satu-satunya anak laki-laki bapak…” (halaman 94).

Bukankah ini dilema banyak sekali warga dunia? Misalnya di saat perayaan hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Natal.

Tak semua tokoh dalam antologi ini harus menghadapi konflik yang sifatnya internal. Ini yang menyelamatkannya dari kejenuhan. Kita jadi tak perlu harus menghadapi kemarahan khas anak-anak muda terus-menerus.

Surat dari Gunung Selurung bercerita tentang musuh yang ”lebih jelas”. Lebih vis-a-vis. Ada pemerintah kolonial Hindia Belanda di depan sana melawan warga Desa Klepukelis, Sudimoro, yang menentang upaya tanam paksa dan kerja rodi. Latar waktunya juga mundur jauh ke 1927, lagi-lagi sebuah penyegaran yang perlu di tengah berbagai problem kontemporer yang tersaji di antologi ini.

Meski demikian, tetap ada benang merah yang tersambung: semangat perlawanan melawan kedurjanaan. Diceritakan bahwa seluruh warga desa akhirnya terbantai, tapi Pandu seperti menegaskan: ketidakadilan bisa dilawan di mana pun dan oleh siapa pun.

Sebagai cerpenis muda yang hidup di zaman serbadigital, Pandan juga cukup berhasil menelusupkan fenomena media sosial dalam tema cerita penyelamatan Kampung Kapuk Randu dari sebuah proyek properti. Dalam Salju di Kampung Kapuk Randu, kita diajak berimajinasi indahnya ”salju” di Indonesia yang tercipta dari adanya butiran-butiran kapuk randu yang beterbangan.

Kalaupun ada yang belum sepenuhnya sesuai harapan di buku ini, lebih pada sedikit persoalan teknis. Ada beberapa kata dalam kalimat yang tercetak tanpa spasi sehingga sedikit mengganggu kenyamanan dalam membaca di halaman 12, 14, 15, 16, 31.

Tapi, juga seperti ragam cerita dalam antologi ini, tidak ada hidup yang sempurna. Selalu ada geronjalan di sana-sini. Namun, setipis apa pun, selalu ada harapan di balik semua kesulitan. (*)


  • Judul: Kumpulan Cerpen Suluk Wayang Beber
  • Penulis: Pandan Raditya Arundhati Satya
  • Penerbit: Tankali
  • Cetakan I: Februari 2022

*) WIDODO, Guru SMPN 2 Sudimoro, Pacitan, penggemar sastra

 

By admin