JawaPos.com-Gagasan menunda pelaksanaan pemilu 2024 yang diinisiasi Ketua Umum PKB Gus Muhaimin Iskandar mendapatkan beragam respons, baik pro maupun kontra.
Ide ini tentu tidak tiba-tiba, karena muncul sebagai bagian dari aspirasi masyarakat, serta ikhtiar politik untuk mencapai kemaslahatan berbangsa dan bernegara yang terbaik di tengah situasi saat ini.
Rasionalisasi mengenai masih berlangsungnya pandemi, pertimbangan pentingnya pengutamaan momentum pemulihan ekonomi, kesiapan anggaran negara untuk pembiayaan pemilu, hingga ancaman perang dunia dan eskalasi global saat ini, tidak mungkin diabaikan begitu saja.
Gagasan penundaan pemilu sebenarnya menjadi diskursus menarik dari kacamata politik dan konstitusi. Apalagi, ide ini terlontar dari pimpinan partai yang notabene peserta pemilu langsung, bahkan juga sebagai salah satu pimpinan DPR RI.
Sementara lembaga negara yang berwenang melakukan amandemen konstitusi adalah MPR RI, yang berisi anggota DPR RI dan DPD RI.
Bahkan, PKB tidak sendiri. Ada Golkar dan PAN yang telah menyatakan kesamaan pandangannya. Pada sisi lain, statemen di media juga menunjukkan PDIP, Nasdem, Demokrat, dan PKS tidak setuju ide menunda pemilu.
DPD RI sendiri berkepentingan dilakukan amandemen karena menghendaki kesetaraan kewenangan dengan DPR RI. Lalu bagaimana sikap Presiden Jokowi? Sejauh ini, pemerintah menyatakan tidak mau turut campur karena memandang penundaan pemilu berada di ranah legislatif.
Tentu sikap tersebut dapat dimaklumi karena pemerintah tidak ingin mengesankan mau melanggengkan kekuasaan. Apalagi, beberapa kali Presiden Jokowi menggarisbawahi akan taat dengan konstitusi yang menyatakan masa kekuasaan seorang presiden maksimal berlangsung selama dua periode.
Pasal 7 UUD 1945 menyatakan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Bagaimana akhir cerita usulan ini? Sebagaimana telah disampaikan pengusulnya, yakni Gus Muhaimin, pada akhirnya keputusan dikembalikan kepada Presiden Jokowi dan partai koalisi pengusungnya.
Presiden, mengutip pendapat Yusril Ihza Mahendra, punya hak mengeluarkan dekrit presiden jika berpandangan situasi yang terjadi sekarang mengharuskan ditundanya pemilu.
Sementara itu, partai koalisi sebagai kekuatan mayoritas di parlemen adalah penentu utama akan terjadi amandemen konstitusi atau tidak. Jika mengacu sikap yang sudah dideklarasikan di atas, amandemen Konstitusi masih sangat mungkin terjadi.
Total kekuatan kursi Golkar, PKB, PAN, dan 136 Anggota DPD RI mencapai 323 suara. Sementara gabungan PDIP, Nasdem, Demokrat, PKS, dan PPP sebanyak 310 kursi.
Gerindra yang sejauh ini belum bersikap, bisa jadi penentu terjadi amandemen atau tidak. Namun, apakah penundaan pemilu sesederhana kalkulasi politik demikian? Tentu tidak. Pasti akan ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan mengubah UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen sejauh ini.
Di titik inilah kita mengambil benang merah, pembelajaran, dan makna dari gagasan yang dilontarkan Gu Muhaimin.
Sekurang-kurangnya, ada tiga pembelajaran penting dari polemik usulan penundaan pemilu yang ramai saat ini. Pertama, edukasi politik. Dengan munculnya ide ini, masyarakat tiba-tiba ramai membincangkannya, dan secara tidak langsung diajak melek politik.
Kita akhirnya tahu, sadar, dan paham betapa pentingnya peran partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi. Keputusan-keputusan dan kebijakan strategis kenegaraan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sama sekali tidak mungkin mengabaikan peran parpol.
Mau tidak mau, partisipasi publik untuk ikut melek dan sadar politik, serta menjadikannya sebagai diskursus konstruktif, menjadi pengayaan tersendiri di berbagai forum pembahasan, termasuk di media sosial.
Mengajak kelompok muda dan masyarakat secara luas untuk lebih terlibat dalam ranah politik sangatlah penting dan fundamental. Sebab, semakin banyak keterlibatan publik dalam mempertimbangkan suatu kebijakan, akan semakin mengatrol porsi checks and balances-nya.
Kedua, edukasi konstitusi. Tidak semua pihak paham bahwa sistem ketatanegaraan kita dijalankan berdasarkan ketentuan UUD 1945 sebagai panglima hukum tertinggi setelah Pancasila. UUD 1945 atau konstitusi kita memang bukan kitab suci.
Justru karena itulah tidak haram hukumnya untuk mengupayakan adanya perbaikan-perbaikan yang diperlukan, jika memang diperlukan. Walhasil, apa yang termaktub di dalamnya, wajib ditaati karena sudah melalui proses kesepakatan bersama.
Edukasi konstitusi adalah modal paling utama dan pedoman terpenting untuk mencapai keutuhan bangsa dan stabilitas politik, ekonomi, hukum, sosial, dan seterusnya di masa sekarang dan akan datang.
Contoh, setelah adanya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang lahir hasil amandemen ketiga konstitusi, saat ini tidak mudah menjatuhkan presiden tanpa alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum, sebagaimana pernah terjadi di masa pelengseran Gus Dur pada 20 tahun lampau.
Contoh lain, masa jabatan presiden maksimal dua tahun juga bagian dari ikhtiar amandemen konstitusi.
Ketiga, adanya partisipasi publik untuk ikut memikirkan jalan keluar terbaik mencapai kemaslahatan berbangsa dan bernegara. Terjadinya pro-kontra hingga munculnya diskursus di berbagai forum adalah wujud nyata adanya partisipasi publik untuk ikut memikirkan plus-minus dari usulan penundaan pemilu.
Artinya, publik diajak untuk berpikir bersama. Ini mengandaikan keterlibatan publik adalah komponen yang tidak mungkin diabaikan dalam mencapai cara-cara terbaik menuju kemaslahatan berbangsa. Tujuannya adalah vox populi vox dei. Suara rakyat suara Tuhan.
Pada akhirnya, gagasan ini tidak perlu dimaknai secara skeptis dan berlebihan. Dalam politik, apapun mungkin terjadi dan semuanya masuk akal. Sebab, usulan politik adalah bagian dari seni berpolitik.
Di dalamnya tidak terlepas dari unsur kompromi dan kesepakatan bersama, sebagaimana dinyatakan Gus Muhaimin sejak awal: tergantung partai koalisi. (*)
*) FAUZAN FUADI, Ketua Fraksi PKB DPRD Jatim
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Media dan Komunikasi FISIP Unair Surabaya