JawaPos.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang lembaga jasa keuangan menggunakan, memasarkan, maupun memfasilitasi perdagangan aset kripto. Termasuk penempatan dana dengan unsur spekulasi yang tinggi atau volatilitas lainnya. Sebab, OJK menganggap aset kripto bukan produk jasa keuangan.
Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK Agus Edy Siregar mengatakan, bank boleh memfasilitasi transaksi pembayaran untuk perdagangan aset kripto. Namun, mereka tidak boleh memfasilitasi perdagangannya.
“Saya garis bawahi bahwa kripto dinilai sebagai aset, bukan currency (mata uang). Jadi, dilarang sebagai alat pembayaran. Tapi sebagai komoditas yang diperdagangkan,” ucap Agus dalam webinar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia akhir pekan lalu.
Dari sisi investor, lanjut dia, risiko yang ditimbulkan perdagangan aset kripto adalah berinvestasi di aset ilegal atau bodong. Misalnya, money game, robot trading, dan perdagangan aset kripto tanpa izin.
Masyarakat umumnya tertarik dengan iming-iming imbal hasil yang sangat tinggi. Kemudian diminta menyetor dana terlebih dahulu.
“OJK meminta calon investor lebih berhati-hati menyikapi tawaran investasi model ini,” tegas Agus.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aplikasi Informatika I Nyoman Adhiarna menyebutkan, belakangan ramai isu pengembangan blockchain berupa non-fungible token (NFT). Token digital yang unik, langka, dan bernilai.
Tidak bisa dipecah-pecah dan transparan. Aset digital tersebut telah menarik minat investasi masyarakat Indonesia hingga global.
Nyoman mengatakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sedang menelaah dampak perkembangan investasi kripto jenis NFT. Saat ini masih tahap awal. Apalagi, tidak banyak sumber daya manusia (SDM) yang menguasai.
“Kami butuh sharing dengan para pakar. Sebab, Kemenkominfo lebih banyak bertanggung jawab dari sisi penyelenggaraan sistem elektronik. Itu yang kami atur. Lebih kepada tata kelola, kewajiban registrasi, hingga pengamanan data,” bebernya.