JawaPos.com – Pengamat ekonomi dan energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, keputusan Pertamina menaikkan harga elpiji nonsubsidi dapat mengurangi beban negara. Menurutnya, upaya Pertamina menaikkan harga elpiji di tengah harga minyak dunia yang meroket merupakan langkah tepat untuk mengurangi beban APBN.
Fahmy menyampaikan bahwa penetapan harga elpiji harus didasarkan atas mekanisme pasar. Sehingga Pertamina menjual elpiji sesuai harga keekonomian.
Menurutnya, apabila Pertamina menjual elpiji di bawah harga keekonomian, maka pemerintah harus mengganti dengan dana kompensasi yang dapat semakin memberatkan APBN. Kementerian ESDM menyatakan kenaikan harga minyak dunia akibat ketegangan geopolitik Rusia dengan Ukraina telah berdampak terhadap beban subsidi.
“Terutama produk BBM dan elpiji yang nilai subsidinya bisa melebihi asumsi APBN 2022,” katanya dikutip dari Antara, Minggu (27/2).
Setiap kenaikan USD 1 per barel berdampak kepada kenaikan subsidi elpiji sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun.
Dalam postur APBN 2022, nilai subsidi BBM dan elpiji tiga kilogram mencapai Rp 77,5 triliun. Namun, penetapan angka subsidi itu dilakukan saat harga minyak mentah Indonesia (ICP) masih USD 63 per barel.
“Sementara harga minyak dunia sempat menembus USD 100 per barel pada perdagangan pekan ini,” lanjutnya.
Menyikapi kondisi pasar, Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga, kemarin, lantas menaikkan harga elpiji nonsubsidi untuk menyesuaikan dengan harga minyak dan gas bumi di pasar global. Penyesuaian harga hanya berlaku untuk elpiji nonsubsidi, seperti Bright Gas atau sekitar 6,7 persen dari total konsumsi elpiji nasional per Januari 2022 ini.
Perseroan menyatakan harga kontrak Aramco (CPA) kini mencapai USD 775 per metrik ton atau naik sekitar 21 persen dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun lalu. Dengan adanya penyesuaian harga tersebut, maka harga elpiji nonsubsidi yang berlaku saat ini Rp 15.500 per kilogram.
Pertamina mengklaim telah mempertimbangkan kondisi penyesuaian harga serta kemampuan pasar elpiji nonsubsidi. Harga itu dinilai masih kompetitif dibandingkan harga elpiji di berbagai negara di Asia Tenggara.
Adapun harga elpiji subsidi ukuran tiga kilogram tidak ada perubahan. Saat ini, porsi konsumsi elpiji tiga kilogram mencapai 93 persen dari keseluruhan konsumen elpiji Pertamina.
Harga elpiji tiga kilogram tetap mengacu kepada harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Lebih lanjut Fahmy menyarankan agar Pertamina mengubah skema subsidi elpiji ukuran tiga kilogram dari distribusi terbuka menjadi tertutup guna menekan subsidi elpiji yang tidak tepat sasaran.
Ia juga meminta Pertamina untuk menaikkan harga BBM nonsubsidi, seperti Pertamax ke atas agar beban keuangan perseroan berkurang. “Tapi, jangan menaikkan harga Pertalite,” pungkasnya.