JawaPos.com – Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menilai, penundaan pemilu 2024 tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Menurutnya, hanya ada 3 cara yang bisa ditempuh jika ingin memuluskan niatan tersebut.
Yusril mengatakan, usulan penundaan Pemilu berkaitan langsung dengan norma konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Pertama, Pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diatur dalam UUD Pasal 1 ayat (2). Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu itu untuk memilih anggota DPR dan DPD untuk membentuk MPR.
Ketentuan-ketentuan di atas berkaitan erat dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya.
“Jadi, jika Pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali,” kata Yusril dalam keterangan tertulis, Minggu (27/2).
Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya berstatus ilegal alias tidak sah atau tidak legitimate. Dengan begitu, rakyat tidak memiliki kewajiban untuk tunduk atas kebijakan yang dibuat penyelenggara negara.
Yusril menjelaskan, hanya ada 3 cara agar penundaan Pemilu mendapat legitimasi. Pertama Amandemen UUD 1945, kedua Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan ketiga menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
“Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku,” jelasnya.
Pria yang juga menjadi Pakar Hukum Tata Negara itu mengatakan, dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 1945.
Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45, Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR.
Yusril menilai tidak perlu ada perubahan pqsal dalam UUD 1945. Hanya perlu menambahkan pasal baru dalam terkait pemilihan umum. Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma ‘Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu. Ayat (8) Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum.
Dengan penambahan 2 ayat dalam pasal 22E UUD 45 itu, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Para anggota dari Lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu.
“Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru,” kata Yusril.
Jalan kedua, di luar mengubah UUD 1945 adalah Presiden mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu. Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum.
“Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 45?,” ucap Yusril.
Dia menuturkan, Presiden Abdurachman Wahid alias Gus Dur pernah mencoba melakukan revolusi hukum dengan mengeluarkan dekrit pembubaran DPR dan MPR hasil Pemilu 1999. Namun, Yusril berpandangan rencana tersebut adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko.
Kalau tindakan itu hendak disamakan dengan tindakan Bung Karno tanggal 5 Juli 1959, maka landasan sosiologis, politis dan konstitusional dianggap tidak terpenuhi. Selain itu, dekrit hanya akan berhasil jika didukung oleh kekuatan militer. Sementara TNI kala itu justru enggan mendukung langkah Gus Dur.
Namun, Gus Dur tetap mengeluarkan dekrit pada 23 Juli 2001. Meskipun banyak mendapat dukungan dari kalangan aktivis, namun direspon oleh MPR dengan menggelar sidang dan menjawab dekrit Presiden sebagai pelanggaran terhadap konstitusi dan haluan negara. Maka, Presiden Gus Dur diberhentikan dari jabatannya.
Sementara itu, jalan ketiga untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan para penyelenggara negara adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention. Perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi UUD 1945, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.
Dalam Pasal 22E UUD 45 tegas diatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Pasal 7 UUD 45 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun. Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi.
“Kedua pasal ini tidak diubah, tetapi dalam praktik Pemilunya dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun,” pungkas Yusril.