Letih dan kehausan, mereka berhenti. Seorang bertopi hitam duduk di atas batu besar, membuka botol minuman. Seorang berkaus merah menyibak ilalang kering, membuka ritsleting celana. Seorang berkacamata berdiri di bawah pohon kesambi, membuka kamera, merekam dahan serta daun yang tertiup angin, lalu mengarah pada buah kesambi yang biasanya dibuat minyak kecacil.

DIA berpindah merekam suasana Kamis siang di sepanjang lereng, kemudian menurun ke arah lembah di bawah sana.

”O, benar,” kata penduduk di barat bukit tadi, ”lembah itu tempat tinggal hantu-hantu yang kena gusur.”

Kalau ada pembebasan lahan, bukan hanya manusianya yang dipaksa pindah. Namun, penghuni gaibnya juga. Memang, hanya orang tertentu yang tahu soal ini.

”Biasanya hantu-hantu digiring oleh orang-orang sakti lewat jalur kesambi,” kata penduduk setempat di sisi ladang ubi, ”lalu nanti masuknya lewat gerbang pohon-pohon gayam di depan lembah.” Tangannya menunjuk bukit di arah timur.

Di bawah langit biru dan putih awan tipis bulan Juli, di sana terlihat pohon-pohon yang lebih menonjol dari yang lain.

Penduduk lokal itu menyarankan sebaiknya tidak ke lembah itu.

Anehnya, bukannya takut, malah tiga pemuda tersebut terlihat bersemangat, terutama yang bertopi hitam. Seakan makin yakin dengan tujuannya. Penduduk setempat jadi curiga. Siapa sebenarnya mereka? Mau apa?

***

Dikelilingi perbukitan, gelap telah merayap lebih cepat di area lembah. Suara gagak masih terdengar mengoak menjauh ke tenggara. Aroma lembap dari lumut dan humus ikut terbawa angin petang yang rinding dan dingin.

Pohon-pohon mulai menjelma bayangan hitam. Suara binatang kecil mulai mengisi sunyi seram.

”Sudah beres?” tanya pemuda bertopi hitam.

”Ok! Cek,” kata pemuda berkaus merah dari cabang pohon.

Dari dalam tenda gunung, pemuda berkacamata mengecek laptop di bawah lampu portabel.

”Geser ke arah pukul dua,” katanya kemudian melalui walkie-talkie.

”Begini?” tanya pemuda di cabang pohon.

”Sip! Sudut bagus.”

Lelah dan lapar, mereka berkumpul. Mereka membuka bekal makan malam.

Mereka tidak melepas kamera-kamera kecil yang diikat di kepala seolah mahkota yang disertai cahaya senter milik penambang bawah tanah. Mereka menyiapkan makanan, merebus air dengan kompor kecil portabel, menyeduh kopi, dan melakukan semua itu dengan sikap lihai dan terbiasa.

Yang mengganggu mereka sampai saat ini barulah dengung nyamuk-nyamuk di telinga. Nyamuk-nyamuk yang tampaknya putus asa menusuk kulit-kulit yang telah digosok losion pelindung.

***

”Sekarang?” tanya hantu bergigi naga tak sabar lagi. Sejak tadi dia ikut mengawasi tiga pemuda itu dari alam lain.

”Biarkan mereka selesai makan malam,” kata hantu gondrong berkuku serigala. ”Katanya kamu pernah digusur saat sedang makan dan itu bikin kesal?”

Keduanya sama-sama hantu pendatang. Yang gondrong berkuku serigala tiba lebih dahulu. Kuburan tempatnya tinggal ratusan tahun dari generasi ke generasi terdampak pembangunan proyek strategis nasional.

Sekarang mereka sedang menjalankan perintah dari Hantu Ketua untuk menjaga sisi timur lembah. Sebagai pendatang, mereka patuh pada hantu, iblis, dan peri-peri asli lembah ini.

Manusia memang menjengkelkan, kenang si hantu berwajah manusia tua bergigi taring milik naga. Mereka pembuat derita. Bagaimana tidak, coba? Di tempat sebelumnya, dia hantu raja. Sekarang hantu budak. Hutan tempatnya tinggal, juga tempat rakyat hantu-hantu di bawah kekuasaannya hidup dengan damai, diubah jadi area tambang.

Awalnya dia mengira hanya manusia petani yang diminta pindah. Akan tetapi, bersama datangnya ribuan polisi manusia yang membawa tameng, datang pula ribuan polisi gaib yang membawa senjata gaib.

”Menyerah dan pindahlah,” kata hantu yang duduk di atas tandu, yang dikelilingi hantu-hantu bersenjata mematikan, ”kalian tidak akan mampu melawan.”

”Pengkhianat!” Dia mengaum. Membesar. Memperlihatkan gigi naganya yang menakutkan.

”Kamu penjual bangsa sendiri pada bangsa manusia! Kamu harus musnah!” Dia menerjang. Bum! Asap putih mengepul di alam gaib. Membuat suasana mencekam di penggusuran hantu yang apes.

Hantu-hantu lain ada yang ikut menyerbu, ada yang jadi pengecut sembunyi di rumah-rumah kosong, di kandang-kandang ternak, atau di gedung sekolah yang telah ditinggalkan manusia. Tak lama kemudian, asap perlahan menghilang.

Hantu di atas tandu bersidekap, wajahnya gelap, matanya merah, dan seolah tidak ada masalah yang menyentuhnya. Sikap duduknya tidak berubah sejak semula. Hanya ujung dasinya yang sedikit geser ke kanan.

Lawannya, hantu berwajah manusia tua bergigi naga, kini terkapar di depannya.

”Sudahlah, Saudaraku,” kata hantu berwajah gelap dari atas tandu, ”kalian toh akan dipindah ke Lembah Kelabu yang lebih nyaman. Lebih baik mulai kemasi barang-barang dengan tenang. Ingat, pastikan kembali jangan sampai ada barang yang tertinggal atau tertukar.”

Mereka pun digiring oleh orang-orang sakti yang bekerja sama dengan hantu-hantu yang berkhianat.

Mereka menempuh perjalanan jauh. Mereka dipindah ke Lembah Kelabu melalui jalur pohon kesambi, kemudian memasuki gerbang kayu gayam.

”Kita tidak mungkin memiliki uang untuk membeli tanah di muka bumi,” kata sang raja hantu yang kini malu jadi budak, ”karena tanah-tanah diwariskan dan bersertifikat atas nama manusia. Itu pun atas nama manusia yang berharta dan berkuasa. Makanya jangan heran kalau kalian melihat banyak rumah manusia yang dibiarkan kosong dan angker, sementara gelandangan tidur melarat berserakan di kolong-kolong jembatan.”

”Anak-anakku,” katanya lagi dalam nada sedih, lalu marah, ”jika kalian bertemu manusia, balaskan dendam. Takuti mereka!”

Namun, tak ada manusia yang mereka temui di Lembah Kelabu, kecuali malam ini.

Sejak hari pemindahan, mereka sulit keluar dari pagar gaib pohon gayam untuk membalas dendam. Di tempat baru, mereka hidup penuh tekanan. Kebiasaan mereka diubah. Termasuk jati diri. Bahkan, selamanya mereka akan disebut sebagai pendatang. Selamanya mereka memiliki batas-batas kekuasaan dan kebebasan apabila dibandingkan dengan yang datang lebih dahulu.

Dia harus rela diperintah hantu berkuku serigala meski dia sendiri hantu berwajah manusia tua, bergigi naga, dan mantan raja.

***

Perkara pertama datang ketika pemuda bertopi hitam sedang memberesi perkakas makan. Bayangan hitam berkelebat. Cepat. Dia menoleh, tak tertangkap. Berkerisak di belakang. Berbalik, hanya sorotan senter kepalanya mengarah pada semak, pohon, dan gundukan sarang semut raksasa yang menyerupai manusia duduk.

Tak lama berselang, pemuda berbaju merah merasa mendengar aum serigala. ”Dari arah sana!” katanya kemudian lari menjauh dari tenda, mengejar sumber suara di arah timur laut. Dia membawa senter tambahan di tangan kanan, kamera di tangan kiri, dan walkie-talkie menempel sistematis di dada kanan atas seperti tentara modern.

Pemuda berkacamata tetap berada di tenda gunung, memantau semua kamera dari laptop dan sistem instalasi informasi yang dia buat. Tiba-tiba ada bayangan bocah gundul kecil di sisi barat daya.

”Topi, cek. Topi, cek,” bisiknya dalam walkie-talkie, ”tenda arah jam lima.”

Pemuda bertopi lari ke sisi tenda, mencari, tapi tidak ditemukan selain reruntuhan daun, garis taburan garam, dan jejak-jejak ketika mereka merapikan lokasi tenda agar nyaman dan terhindar dari hewan melata.

***

”Aneh, mengapa mereka tidak takut?” Hantu tua bergigi naga heran. O, mungkin levelnya harus dinaikkan, pikirnya.

Maka, sekarang hantu-hantu peniup menciptakan angin yang membuat pohon riuh, daun kering menghambur-hambur, dan tenda hampir tercerabut. Maka, sekarang hantu-hantu perusuh melemparkan alat-alat makan. Maka, sekarang hantu-hantu pocong muncul-hilang dan muncul-hilang di depan mata kedua pemuda secara menakutkan. Maka, sekarang hantu-hantu paling menyeramkan mulai bergiliran mendekati.

Dimulai dari sundal bolong yang mengagetkan pemuda bertopi hitam. Dia tiba-tiba ada saat pemuda itu membalik badannya setelah mengencangkan tali tenda.

Sundal bolong itu meringis seram pada si pemuda bertopi. Perutnya yang berlubang meneteskan darah-darah melintasi kafan putih kusam. Belatung-belatung menggeliat di sana. Bacin benar baunya.

”Sumpah, Guys! Ini baunya benar-benar bacin, hoek-hoek, kayak daging busuk. Dan kita lihat, Guys. Ini real. Nyata. Tidak seperti channel sebelah yang hanya setting-an, Guys. Kalau kalian tidak percaya, perhatikan ini,” pemuda bertopi hitam mengarahkan kamera pada tangannya, yang dengan kebangetan, mulai merogoh lubang perut sundal bolong hingga tembus dari bagian perut ke punggung, lalu ditarik kembali, ”nyata, kan? Nyata, Guys. Ini ada bekasnya. Ini belatung-belatung dan sisa darah busuk dari sana menempel di tangan, lihat ini, lebih dekat.”

Si sundal bolong terlihat bingung. Seumur-umurnya berkarier sebagai hantu, baru kali ini ada manusia kurang ajar merogoh-rogoh perutnya. Matanya kini merah menyala. Mulutnya menjerit pilu dan mengerikan.

”Wow! Jeritannya benar-benar natural, Guys. Dengar, tadi. Dengar itu, lihat!” Pemuda bertopi menyorot kamera ke arah mulut dan wajah sundal bolong yang sedang marah, yang tentu saja silau oleh cahaya, dan kemudian menghilang.

”Hilang, Guys. Hilang! Ini bukan tipuan kamera. Lihat sendiri, kan? Hilang begitu saja. Bukan seperti channel YouTube sebelah yang abal-abal. Yang kaleng-kaleng. Ini benar-benar seru dan nyata. Dukung terus channel kami dengan like dan subscribe, Guys. Gratis! Dukung kami berkarya dengan orisinal. Ingat, kalau kalian membutuhkan lampu untuk mengarungi hutan gelap, bisa gunakan lampu seperti ini, Guys. Sangat membantu. Juga kamera ini. Serta losion antinyamuk ini. Jangan lupa juga, jika kalian perlu endorse produk, bisa hubungi kami. Harga terjangkau dan ditonton jutaan orang, Guys. Ikuti terus petualangan live kami dan tayangan-tayangan lain. Ayo, kita lanjutkan!”

***

Di alam lain, sundal bolong itu kini menangis di depan hantu tua bergigi naga. Dia tidak mengira kekerasan, bahkan perdagangan perempuan menjadi konten kamera, bukan hanya terjadi di alam manusia, tetapi juga di alam hantu. Bahkan, terjadi pula pada hantu yang sebatang kara, yang tergusur seperti dirinya. Hantu-hantu lain ikut pilu, marah, dan malu.

Tempat tinggal baru mereka mulai diusik manusia-manusia gila, yang semakin ditakuti malah semakin senang, bukannya pergi.

”Kita harus mengadukan ini pada Hantu Ketua,” kata hantu tua bergigi naga, ”kita harus menyatukan kekuatan. Tapi, di mana hantu berkuku serigala? Mengapa belum kembali?” (*)

(2022)

EKO TRIONO, Menulis kumpulan cerpen Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (2016) dan Republik Rakyat Lucu (2018) serta novel Para Penjahat dan Kesunyiannya Masing-Masing (2018)

By admin